AMBISI

Kokok ayam mengejutkan aku dari tidur. Kubelalakkan mata ke arah jarum jam yang tergantung di dinding untuk memastikan jam berapa sekarang. Astaga..ternyata sudah jam sebelas siang. Perlahan aku turun dari ranjang dan berjalan menuju cermin yang terletak di sudut meja belajar. Mataku terlihat sedikit sembab dan memerah. Mugkin karena semalaman aku menangis setelah mendengar keputusan yang mau tidak mau harus kuterima. Saat ini ayah sedang tidak punya uang dan cita-citaku untuk melanjutkan pendidikan di IPDN selepas SMU cuma tinggal kenangan.

Aku tidak habis pikir, dulunya ayah begitu mendukung agar aku bisa menjadi salah seorang penghuni Jatinangor. “Kamu harus menjaga kesehatanmu In,” demikian ayah selalu mengingatkan. Aku tetap memegang nasihat itu karena salah satu syarat untuk dapat diterima di sana adalah sehat jasmani disamping embel-embel uang tentunya.

Waktu aku masih duduk di bangku SMP ibu pernah bercerita bahwa ayah sudah mempersiapkan uang dua ratus juta rupiah untuk menunjang kelulusanku. Wah jumlah yang tidak sedikit, aku sempat kaget mendengarnya. Akan tetapi ibu berusaha menjelaskan kondisi sekarang ini semuanya harus didorong dengan duit. Yang penting sebagai anak sulung dari tiga bersaudara jangan mengecewakan harapan orangtua. Ayah ingin aku bisa mengikuti jejak Paman Roni adik bungsunya yang mampu melanjutkan pendidikan di STPDN sepuluh tahun silam.

Sekarang paman sudah menduduki jabatan penting di salah satu instansi pemerintahan di Jakarta. Prestasi paman cukup membanggakan. Baru beberapa tahun bekerja di kantor walikota. Paman melanjutkan ke Institut Ulmu Pemerintahan atau dikenal dengan II[P. Bangga…itulah yang dirasakan keluarga ayah saat itu termasuk kakek yang sehari-harinya cuma seorang pedagang kecil di desa. Itu dulu, keputusan ayah beberapa waktu lalu sangat jauh berbeda dengan sekarang.

Alasannya ayah gagal terpilih menjadi caleg pada pemilihan legislatif beberapa bulan lalu. Kalau dari pertama aku tahu ayah telah menggadaikan masa depanku hanya untuk sebuah kursi, pasti jauh sebelumnya aku larang.

Semula aku tidak tahu kalau pencalonan diri ayah membutuhkan dana yang begitu besar. Sampai-sampai uang yang selama ini ia persiapkan untuk pendidikanku amblas. Ibu hanya tertunduk dengan wajah muram sambil menekuri lantai. Ia terlihat pasrah. Tak ada pembelaan atau sekedar memberi dukungan terhadap cita-citaku. “Sudahlah In, kamu tetap bisa kuliah di sinikan? Aku diam tanpa memberi jawaban walau cuma sebuah anggukan atau gelengan kepala.

Ayah terlalu berambisi untuk menjadi pemimpin padahal dua bulan lagi aku tamat sekolah. “In, ayah harap kamu bisa mengerti,”ujar ayah tadi malam. Dadaku terasa sesak, tenggorokanku sakit dan aku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Aya bukan lagi figur yang aku banggakan. Tega-teganya merusak masa depan anaknya sendiri hanya demi memenuhi ambisinya tanpa mau tahu ambisiku. Tanpa menunggu waktu lama aku bangkit dan berlari menuju kamar. Bummm! Kuhempas pintu dengan sekuat tenaga. Aku menangis dan menangis.

***

Setelah merapikan tempat tidur kuambil handuk dan langsung masuk kamar mandi. Melewati ruang tengah nampak ayah tengah duduk ditemani ibu. Aku pura-pura tidak melihat. Rasanya kekecewaanku kian merebak saat melihat wajah ayah. Hatiku benar-benar terluka.

Sehabis mandi dan berpakaian aku langsung pergi ke rumah Vina teman dekatku. Kuketuk perlahan pintu rumah bercat biru. Beberapa menit kemudian Vina muncul dengan wajah yang tidak kalah murungnya. Aku heran, tidak biasanya ia bersikap seperti ini. “Rumahmu sepi, semuanya pada ke mana,”tanyaku. Vina diam dan menatapku dengan tatapan yang sama sekali tidak aku mengerti. “Orangtuaku ke Parapat. Om Han masuk rumah sakit,”jelas Vina sambil meletakkan punggungnya ke kursi di sebelahku.

Aku duduk di teras bersama Vina sambil menumpahkan semua uneg-uneg yang ada. “Kamu tidak boleh begitu, In. Seharusnya kamu bisa menerima kenyataan karena ayahmu pasti lebih tertekan lagi”. Vina menceritakan masalah yang sama yang menimpa keluarganya. Om Han juga gagal menjadi anggota legislatif di daerah pemilihannya dan sekarang malah masuk rumah sakit.

Celakanya lagi, seluruh harta dan perusahaan sudah ia gadaikan. Sekarang untuk biaya perawatan saja orangtua Vinalah yang terpaksa menanggung. Mana anak om Han masih kecil-kecil dan butuh biaya untuk sekolah. “Ayahmu tidak sampai seperti itukan? Vina balik bertanya. Aku mengangguk dan berusaha mencerna setiap kata-kata yang dilontarkan sahabat karibku.

Tiba-tiba telepon berdering. Vina berlari ke dalam sementara aku masih merenung membandingkan antara ayah dan om Han. Belum habis lamunanku Vina mucul dengan wajah pucat pasi. “Kenapa Vin? Tanyaku. Om Han meninggal. Ia mengalami defresi dan jantungnya tidak tertolong lagi”. Vina terduduk lemas. Sekelebat wajah muncul di pelupuk mataku. Ayah seperti itukah yang ia rasakan? Timbul rasa berdosaku karena telah memusuhi ayah. Bukankah aku masih bisa kuliah dan ayah tetap melakukan aktifitas sehari-harinya sebagai seorang pengusaha…? Kuraih tas sandang yang terletak di meja. Aku ingin segera pulang dan memeluk ayah. Aku takut kehilangannya. Tanpa ayah siapa lagi yang akan membiayai pendidikanku nanti. “Maapkan aku ayah,” bisikku lirih.


Aku langsung pulang setelah mengantarkan Vina ke stasiun kereta api. Sampai di rumah, suasana tampak sepi. Kuketuk pintu beberapa kali namun tidak satu pun yang membukakan pintu. Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi. Nomor handphone ayah, cepat-cepat kutekan ‘yes’. “Halo,,,” Sejenak mendengar suara si penelponn aku seolah tak percaya. Ayah terpaksa dirawat di rumah sakit jiwa.

Aku bergegas ke tempat praktek dokter yang disebutkan ibu. Di ruang praktek ibu nampak menangis. “Ada apa bu? kenapa tiba-tiba semuanya jadi begini, tanyaku. “Bukankah ayah masih bisa berobat rutin ke psikiater, sambungku lagi. “Sudah tiga bulan Pak Rahmad menjadi pasien tetap di sini. Tapi tidak ada kemajuan dan ini salah satu jalan terbaik, “dokter menjelaskan. Aku tidak bisa menahan air mata dan langsung menjatuhkan kepalaku di pundak ibu.

Ternyata diam-diam ayah berusaha mengatasi permasalahannya sendiri. Tanpa sepengetahuan aku, ibu dan adikku. “Berdoalah, mudah-mudahan bapak masih bisa disembuhkan,”sambung dokter lagi. Saat ini kepalaku rasanya mau pecah. Tidak tahu apalagi yang harus kuperbuat. Antara rasa kecewa, perasaan berdosa pada ayah dan yang membuat aku pusing tujuh keliling, siapa yang akan menghidupi kami selama ayah di rumah sakit. Pandanganku tiba-tiba kabur dan aku jatuh tak sadarkan diri.

(Sudah dimuat di Majalah Aceh Economic Review)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar