“TENTANG AKU DAN KAMU”

Langkahku terhenti saat hati mulai mencair karena rindu…
Tataplah mentari, karena hari ini semuanya harus kita akhiri
Genggamlah jariku, karena mungkin kita tak mungkin kembali ke masa-masa ini…
Peluk tubuhku ini, karena sungguh… aku ingin..

Pertama ku sentuh warnamu, saat hati ini gersang, penuh dengan debu….
Sperti Oase yg bangkitkan hasrat untuk berbagi angan.. kamu hadir bawakan aku Cinta..
Kamu buat aku tertunduk, merenung, dan menatap jauh ke dalam mata indahmu
Sungguh.., aku telah tenggelam dan hanyut dalam lautan cinta terlarang ini..

Saat kututup mataku, terbersit keinginan untuk bawa kamu jauh kedalam kehidupanku
Saat kuyakinkan hati ini bahwa kamu mampu bertahan dengan semua keadaanku saat ini
Selalu ada sesuatu yang memaksa aku berfikir kembali untuk melangkah lebih jauh
Sampai di Titik ini, aku harus menjawab… mengapa hatiku sering bimbang

Jujur…. dari dalam lubuk hatiku yang paling dalam.. aku katakan…
Aku sayang kamu…… Aku cinta Kamu… Aku akan selalu rindu padamu…..
Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada padamu
Hingga buatlah kamu benci padaku karena perasaanku ini…

12 Des 08, kita putuskan untuk arungi lautan yg penuh gelombang ini bersama-sama
Berbekal hati yg terluka, coba abaikan sakitnya, penuh harap, gantungkan angan diangkasa…
Walau hampir basah pipi ini dengan air mata tak percaya…
Getir…. Saat kau ucapkan setiap kata yang terbungkus cerita tentang kamu dengan dia…

Tapi sudahlah, aku bisa terima semua itu… dan berharap, tak ada lagi cerita yg keluar dari bibirmu tentang masa lalumu itu, karena aku masih ingat jelas rasa sakitnya…

Sejak saat itu, hariku tak lagi membosankan…
Sejak saat itu, ada wajah dan warnamu dalam setiap ruang di hati dan fikiranku
Ada senyummu, pandanganmu dan suaramu di sela-sela aku menghela nafas…
Sungguh, kamu begitu memberi arti di dalam kisah hidupku

Sampai kusadari, aku bukanlah orang yang kau cari…
Aku bukanlah pangeran dalam mimpimu…
Aku bukanlah pembawa bahagian di masadepanmu,
Aku hanya seorang pemimpi, yg dapat halangi kamu untuk temukan belahan hatimu yang lain..

Aku tak bisa menjadi tanpa batas dimatamu…
Akupun Kadang tak bisa selalu ada disisimu saat kamu butuh aku..
Aku tak bisa janjikan waktu-waktu indah untuk kamu,
Aku sadar benar, semua ini menyiksamu… aku dan kenangan-kenangan kita

Bila kita tak mungkin lagi bersatu,…
Sungguh….
Aku akan tetap berusah selalu ada untuk kamu,
Walau tak mungkin lagi hatimu utuh untukku..

Semoga kamu temukan cinta sejatimu, tanpa batas… hingga dunia tau….
Sesungguhnya ada ruang di dalam mata indahmu..
Ruang yang hanya pantas diisi dengan cinta tulus dengan hati…
Aku Cinta Padamu…

Terima kasih, untuk semua sayang dan cintamu.. yg membuat aku akan sangat kehilanganmu..
Jangan lupakan aku.. sungguh, kisah ini jadi penggalan manis dalam hidupku,
Walau “kita cukup sampai disini….”
Mungkin, Sampai aku kembali lagi…

Mungkin…

Nabrak!

Posting cerpen by: cahyo

BRUUUUUUUUUUUUUMMMMMMMMMMMMMMMMM ….. NGEEEENNNNNNNNGGGGGGGGGGGGG… BRRUUUMMM…Setiap sore si Rian selalu ngajak adiknya jalan-jalan sambil ngebut naik motor..ohh ya si Rian punya adek juga lohh.namanya Dani berumur 4 tahun masih TK “Mas Rian aku mau megang…”pinta Dani polos“Ga boleh..”Rian melarang“ihhh mas Rian..”tepaksa Rian menurutinya daripada ntar nangis…belum lagi teriak-teriak ga jelas nyanyi lagu ‘menanam jagung’ punk version sambil ngeROCK gitu-gitu adeknya rocker juga lohh…dia pernah juara ChildRock di Tokyo duet ama Manohara…(idih apa hubungaannya manohara ama Rock.??)Lalu si Dani hanya megang gigi dan rem dan Rian nginjek gas dan siaapBREEEEEMMM…..BRUUUMM…BREEEM….NGEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEENNNGGGGGGG………….Motor pun berjalan dengan cepat sekali seperti jet or rocket,Rian pun panik dan hanya bisa berkata“GOBLOK..GOBLOK..”lalu didepannya ada Bis Jemputan…lalu Rian berfikir nabrak gapapalahh..ini mobil jemputan tapi kok ijo..???platnya…?PLAT MERAH??“AWASSSSSSSSSSSSS”CCCCCIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIITTTT…Untung aja Dani memberhentikannya“FIUUUHHHH…lain kali Dani jangan maen motor lagi ya??”BRAAAAAKK…Motor itupun terjatuh lalu si Dani langsung mengadakan konser dadakannya“MAASSS RIAAAAAAAAAAAAAANNNNNN…HAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA………….”Apay,No dan Ojay juga melihatnya sambil cekikikan“CANGKUL CANGKUL CANGKUL Y ANG DALAM MENANAM JAGUNG DI KEBUN KITAA….”dan si Apay yang membawa gitar juga mengiringi si Dani menyanyi dengan kunci F#m Dm Bm dan kunci-kunci balok lainnya dan ditambah efek-efek scream dari ApayRian yang terjatuh akhirnya segera bangun dan menepukan tangannya dan mengiringi sang adik bernyanyiLalu ada orang yang menaruh uang ke topi NY nya Rian yang terjatuh,lalu Rian kaget dan langsung mengantongi uang tersebut dan memakai tpinya kembali“lumayan buat Bensin..ama nraktir…..”Rian bernafas lega“Dann mo ke Alfa ga? tapi jangan bilang-bilang mama kalo tadi jatoh yaa..?”Rian menyogok Dani yang masih berteriak sambil menyannyi lagu menanam jagung punk versionlalu suara kenceng dari Dani sang Rocker cilik berhenti dan Dan hanya mengangguk dan langsung naik motor an Rian pun ngerem lagi..BRUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUMMMMM….“WOYY..JATAH GUE MANA…”Apay kesal berteriak sambil mengejar-ngejar Rian yang sudah ngebut dan terjatuh kasian banget..

Jangan Menyebut Dua Frasa Itu

Cerpen Marhalim Zaini

Yang hidup di tepi laut, tak takut menyambut maut.
Tapi ia, juga orang-orang yang tubuhnya telah lama tertanam dan tumbuh-biak-berakar di kampung nelayan ini, adalah sekelompok paranoid, yang menanggung kecemasan pada dua frasa. Dua frasa ini merupa hantu, bergentayangan, menyusup, menyelinap, dan acapkali hadir dalam sengkarut mimpi, mengganggu tidur. Dan saat bayangannya hadir, ia membawa kaleidoskop peristiwa-peristiwa buruk, yang menyerang, datang beruntun. Maka, ketahuilah bahwa dua frasa itu sesungguhnya kini hadir lebih sebagai sebuah energi negatif yang primitif, selain bahwa ia juga sedang menghadirkan dirinya dalam sosoknya yang energik, molek dan penuh kemegahan.

Tapi mampukah ia, si renta yang bermulut tuah, bertahan untuk tidak menyebut dua frasa itu, yang sesungguhnya telah demikian lekat bersebati di ujung lidahnya, bagai asin laut yang ia cecap setiap hari dan terus mengalir di air liur ke-melayu-annya.

"Ingat ya Tuk, Datuk tak boleh menyebut dua frasa itu. Bahaya!" Demikian proteksi dari yang muda, dari cucu-cicitnya. Dan merekalah yang sesungguhnya membuat ia kian merasa cemas. Di usianya yang susut, ia justru merasa kekangan-kekangan datang menelikung. Tak hanya kekangan fisik karena kerentaan yang datang dari kodrat-kefanaan tubuhnya sendiri, tapi juga kekangan-kekangan yang kerap ia terima dari orang-orang di luar tubuhnya. Orang-orang yang sebenarnya sangat belia untuk mengetahui rasa asam-garam, sangat rentan terhadap patahnya pepatah-petitih di lidah mereka.

Tapi, di saat yang lain, ia merasa aneh. Kenapa dua frasa itu, akhir-akhir ini demikian bergaram di lidahnya, tetapi demikian hambar di lidah orang muda? Tengoklah mereka, orang-orang muda, mengucapkan dua frasa itu seperti angin yang ringan, terlepas begitu saja, dan terhirup tak berasa. Dua frasa itu mereka ucapkan di merata ruang, merata waktu. Dari ruang-ruang keluarga, sampai dalam percakapan di kedai kopi. Dan setelahnya, secara tersurat, memang tak ada satu pun peristiwa buruk yang tampak terjadi, seperti layaknya ketika ia, si lelaki renta, yang mengucapkannya.

"Datuk kan bisa melihat akibatnya, ketika dua frasa itu keluar dari mulut Datuk yang bertuah itu. Badai topan datang menyerang dari arah laut. Habis semua rumah-rumah penduduk. Lintang-pukang seisi kampung nelayan. Nah, kalau Datuk memang tak ingin melihat anak-cucu-cicit datuk porak-poranda, ya sebaiknya Datuk jangan sesekali menyebut dua frasa itu. Dan Datuk tak boleh iri pada kami, ketika kami dengan sangat bebas bisa menyebut dua frasa itu, karena Datuk sendiri tahu bahwa lidah kami memang tak sebertuah lidah Datuk."

Tapi ia, si lelaki renta itu, selalu merasakan ada yang aneh. Instingnya mengatakan bahwa ada badai-topan dalam wujudnya yang lain yang sedang menyerang, sesuatu yang tersirat. Sejak ia mengunci mulut untuk tidak menyebut dua frasa itu, justru kini ia menyaksikan persitiwa-peristiwa buruk yang lain datang, sedang menyusun kaleidoskopnya sendiri. Tengoklah, kenapa kian menjamurnya anak-anak perempuan yang hamil luar nikah, dan anak-anak terlahir tak ber-Ayah. Kenapa kian dahsyatnya anak-anak muda yang tenggen, mengganja, dan saling membangun anarkhi dan istana-istana mimpi dalam tubuh mereka. Kadang-kadang malah mereka kini tampak serupa robot, atau bahkan kerbau dungu, atau serupa mesin-mesin yang bergerak cepat tak berarah, membabi-buta. Akibatnya, kampung nelayan yang serupa tempurung ini, kini lebih tampak sebagai sebuah ruang diskotek tua yang pengap, sebuah ruang yang sedang menanggung beban masa lampau sekaligus beban masa depan.

Dan tengoklah pertikaian demi pertikaian yang terjadi. Jaring Batu hanyalah sebuah sebab, yang membuat perahu-perahu dibakar, orang-orang diculik, dipukul, dan perang saudara kemudian membangun tembok yang sangat angkuh di antara orang-orang Pambang dan orang-orang Rangsang. Hanya egoisme sesat yang membuat mereka lupa bahwa mereka sesungguhnya berasal dari satu rumpun, satu ras, satu suku. Dan mereka para nelayan, yang mestinya adalah para penjaga tepian ini, tapi kini mereka telah menjelma para nelayan yang meruntuhkan tepian ini.

Peristiwa buruk lain yang kini melanda adalah timbulnya beragam penyakit yang aneh. Penyakit-penyakit yang tak bisa disembuhkan hanya dengan tusukan jarum suntik pak mantri, dan kebal dari obat-obat generik yang dijual di kedai-kedai runcit. Dan anehnya lagi, penyakit-penyakit itu membuat si penderita seperti terkunci mulutnya untuk bisa mengucapkan dua frasa itu. Dan biasanya, ujung dari deritanya, mereka kebanyakan menjadi bisu, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun selain erangan.

Dan ia, si lelaki renta itu, seolah dapat memastikan bahwa sebab dari semua ini adalah karena kelancangan mereka yang menyebut dua frasa itu secara sembarangan. Tak hanya itu, dua frasa itu kini bahkan telah diperjual-belikan ke mana-mana, karena rupanya ia bernilai tinggi karena dianggap eksotis dan jadi ikon historis. Maka dua frasa itu diproduksi, seperti layaknya memproduksi kayu arang atau ikan asin. Dan anehnya, mereka tidak percaya bahwa lidah mereka sendiri sebenarnya juga bergaram. Tapi mungkin garam dengan rasa asinnya yang lain.

Sesekali ia, lelaki renta itu, pernah juga melemparkan saran, "Sebenarnya kalian juga tak boleh menyebut dan memperlakukan dua frasa itu secara sembarangan. Buruk padahnya nanti." Tapi, saran dari seorang renta yang bersuara parau, bagi mereka, hanya bagai suara gemerisik semak dalam hutan. Dan mereka selalu menjawab dalam bisik yang sumbang, "Maklum, masa mudanya tak sebahagia kita…"
***
Tapi di malam yang mendung itu, ia tak menduga tiba-tiba segerombolan orang secara agak memaksa, membawanya ke tepian laut. Lelaki renta itu bingung, kenapa orang-orang yang biasanya selembe saja padanya, kini demikian bersemangat memintanya untuk ikut bersama mereka. Apakah ada sebuah perayaan? Setahu ia, di sepanjang bulan ini tak ada perayaan hari besar maupun perayaan adat. Dan, kalaupun ada, biasanya ia lebih sering tidak diundang, karena mungkin dianggap telah demikian uzur, atau mungkin kehadirannya membuat orang-orang muda tak bebas berekspresi, karena pastilah terkait dengan pantang-larang.

Sesampainya di tepian laut, ia menyaksikan orang-orang telah duduk bersila, sebagian bersimpuh, di atas pasir hitam. Mereka tampak tertunduk demikian hikmat. Di bibir pantai, terlihat beberapa buah perahu yang berbaris, seperti barisan meriam yang moncongnya mengarah ke laut, siap diluncurkan. "Ah, inilah satu frasa itu, yang tampaknya akan dilayarkan ke satu frasa yang lain," pikir lelaki renta itu. Dan ia langsung dapat menduga bahwa akan ada sebuah upacara pengobatan tradisional. Tapi siapa yang sakit?

Seorang muda, tiba-tiba seperti berbisik ke telinga lelaki renta itu. "Datuk, kami mengundang Datuk ke sini untuk meminta Datuk supaya bisa mengobati kami semua." Lelaki renta yang dipanggil Datuk itu agak terkejut. Keningnya berkerut. Ia tidak melihat ada gejala atau tanda-tanda bahwa orang-orang yang berada di sini dalam keadaan sakit. Yang tampak olehnya adalah sekumpulan besar orang yang seperti sedang berdoa. Tapi pemuda itu berbisik lagi, "Datuk, kami semua yang berkumpul di sini sedang menderita penyakit bisu. Sebagian mereka telah benar-benar bisu dan tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Dan sebagian kecil yang lain, termasuk saya, tak bisa mengucapkan dua frasa itu, Datuk. Sementara untuk melakukan upacara ini tentu harus mengucapkan dua frasa itu kan, Datuk? Untuk itu, kami semua meminta Datuk untuk melakukan prosesi pengobatan… …pengobatan…pengobatan…tak bisa Datuk, saya betul-betul tak bisa mengucapkannya." Lidah pemuda itu seperti tersangkut saat hendak menyebut sebuah frasa.

Lelaki renta itu seperti tak percaya. Tapi kepalanya tampak mengangguk-angguk perlahan. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga pemuda, dan membalas berbisik, "Anak muda, kalian pernah melarangku untuk mengucapkan dua frasa itu. Kini kalian juga yang meminta aku untuk mengucapkannya. Apakah kalian tak takut badai topan yang akan menyerang? Kalian tak takut maut?"

Pemuda itu tertunduk ragu. Tak lama kemudian berbisik kembali. "Datuk, kami semua pasrah. Kalaulah ditakdirkan untuk menerima badai topan, dan kami harus mati karenanya, mungkin itu akan lebih baik daripada kami harus hidup membisu, dan tak bisa mengucapkan dua frasa itu…"

Bibir lelaki renta itu mengguratkan senyum. Ia kini tak yakin bahwa ia akan mampu bertahan untuk tidak menyebut dua frasa itu, yang sesungguhnya telah demikian lekat bersebati di ujung lidahnya, bagai asin laut yang ia cecap setiap hari dan terus mengalir di air liur ke-melayu-annya. Paling tidak di dalam hatinya, ia senantiasa mengucapkan dua frasa itu menjadi sebuah kalimat, Lancang Kuning yang tersesat di tepian Selat Melaka.***
Pekanbaru, 2005

Bulan Terkapar di Trotoar

Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda

Bulan terkapar di trotoar. Tubuhnya kotor dan ada bercak-bercak darah pada wajah serta lambung kirinya. Dan, lihatlah, kini ia menggeliat, mencoba untuk bangkit. Mula-mula ia mengangkat kepalanya dan melihat sekeliling. Lalu, memiringkan tubuhnya dan mencoba mengangkat badannya dengan menekankan kedua telapak tangannya ke trotoar. Tapi, usaha itu gagal, tubuhnya kembali rebah. "Ya Allah, apa yang telah terjadi denganku," gumamnya.

Bulan meraba tulang-tulang rusuknya. Ada rasa sangat nyeri di sana. Mungkin tulang-tulang rusuknya telah patah. Bulan meraba pinggangnya. Ada rasa sangat ngilu di situ. Mungkin tulang pinggulnya terkilir atau retak. Bulan meraba lambung kirinya. Ada rasa sangat pedih di situ, dan darah merembes menembus kaosnya. Bulan mengusap bercak-bercak darah pada hidung, pipi dan pelipisnya, lalu meraba kepalanya. Jilbabnya telah tiada, entah terlempar ke mana. "Seharusnya aku sudah mati…Tuhan menyelamatkanku," batinnya.

Bulan tidak tahu berapa jam ia pingsan. Ketika kesadarannya pulih, hari sudah larut malam. Bentrok antara aparat keamanan dan demonstran telah lama reda. Suasana jalan di depan kompleks gedung MPR pun sudah lengang. Ia yakin masih hidup ketika merasakan pada hampir semua bagian tubuhnya. Ia merasa ada keajaiban, kekuatan gaib, yang melindunginya: Tuhan. Jika tidak, ia pasti sudah mati dengan tubuh remuk diinjak-injak sepatu puluhan tentara dan ratusan mahasiswa.

Tapi, Bulan merasa malaikat maut belum pergi jauh darinya. Mahluk gaib itu masih mengintai dari balik kegelapan malam dan tiap saat siap mencabut nyawanya. Sebab, dalam dingin malam ia masih terkapar sendiri, tak berdaya di trotoar, tanpa ada yang menolongnya. Mungkin ia akan pingsan lagi, dan tidak akan tersadar lagi, karena langsung dijemput oleh malaikat maut dengan kereta kuda, untuk dihadapkan ke Tuhannya. Mungkin ia akan kehabisan darah dan tidak tertolong lagi.

Bulan meraba lagi lambung kirinya. Rembesan darah makin membasahkan kaosnya, bahkan terus menetes ke trotoar. "Mungkin lambungku tertembus peluru nyasar," pikirnya. "Ya Allah, kuatkanlah hamba...," gumamnya.

Bulan mencoba untuk bangkit lagi dengan sisa-sia tenaganya, tapi gagal lagi. Sudah tidak ada sisa tenaga lagi yang cukup hanya untuk mengangkat tubuhnya sendiri. Maka, yang dapat ia lakukan hanyalah berbaring pasrah dan menyerah pada Sang Nasib. Terlintas dalam pikiran, kenapa tidak ada yang menolongnya. Dinaikkan ke atas truk tentara dan dibawa ke rumah sakit, misalnya. Atau diangkut dengan ambulan PMI? Bukankah tadi banyak anak-anak PMI dan ada dua ambulan bersama mereka untuk siaga menolong para demonstran yang terluka?

"Di manakah kini mereka. Apakah aku dianggap sampah yang tidak perlu ditolong?" batinnya. "Ah, tidak. Tidak mungkin! Mungkin ambulan PMI dan truk tentara telah penuh, karena terlalu banyak demonstran yang terluka, dan aku sengaja dibaringkan di sini untuk dijemput nanti… Tapi, kenapa sampai begini larut belum juga ada yang menjemputku? Apakah mereka lupa dan tidak ada yang melihatku lagi, karena aku terbaring dengan pakaian hitam-hitam di tengah kegelapan malam?"
***
Ketika berangkat berdemonstari bersama kawan-kawan sekampusnya siang tadi Bulan memang sengaja memakai kaos lengan panjang dan celana hitam sebagai tanda berduka bagi bangsanya yang sedang dilanda krisis ekonomi. Ia pun ingin menyatakan duka sedalam-dalamnya karena kebebasan sudah mati di negerinya dan sudah 30 tahun rakyat ditindas oleh rezim yang otoriter, sehingga tiap ada kawan yang menyapanya "merdeka", ia selalu menjawab, "belum!"

Dan, pada demo mahasiswa yang menandai gelombang reformasi itu ia ingin menyatakan rasa dukanya secara total, sehingga lipstik yang ia pakai pun cokelat kehitaman, dengan jilbab hitam dan sepatu cat yang sengaja ia olesi dengan spidol hitam. "Tapi, kalau sekarang aku mati di sini, adakah yang akan berduka? Masih adakah orang yang akan peduli padaku?" batinnya.

Kenyataanya kini Bulan terkapar sendiri, sekarat, di trotoar, dan tidak ada seorang pun yang menolongnya. Ia heran, kenapa sampai selarut itu tidak ada yang melihat, menemukan, dan menolongnya. Padahal, masih ada satu dua orang pejalan kaki yang sekali-sekali melewati jalan beraspal tidak jauh dari tempatnya terbaring. Beberapa tentara juga masih tampak berjaga di pintu gerbang kompleks gedung bundar yang sedikit terbuka. Jalanan memang lengang, dan tidak ada satu pun kendaraan yang lewat, karena diblokade tentara. "Mustahil kalau tidak ada seorang pun yang melihatku terbaring di sini," pikirnya. "Jangan-jangan aku dianggap gelandangan yang sengaja tidur di sini, sehingga tidak perlu mereka usik?"

Bulan khawatir jangan-jangan orang-orang Jakarta memang sudah tidak memiliki kepedulian lagi pada nasib orang lain. Mereka egois, hanya suntuk pada urusan diri sendiri, dan ia menjadi korban ketidakpedulian itu. "Apakah tentara-tentara yang siaga di pintu gerbang itu juga tidak melihatku? Apakah semua orang telah menganggapku sebagai sampah yang pantas dibiarkan teronggok begitu saja di pinggir jalan, dan cukup diserahkan kepada petugas kebersihan untuk dilemparkan ke truk sampah?"

Bulan mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Dengan itulah dia ingin menolong dirinya sendiri. Jika orang lain sudah tidak peduli lagi padanya, maka dialah yang harus menolong dirinya sendiri. Begitu pikirnya. "Hidup ini keras, Bulan. Karena itu, kamu harus kuat, dan jangan sekali-kali hanya bergantung pada orang lain. Hanya kamulah yang dapat menolong hidupmu sendiri," kata ayahnya, dua tahun lalu, ketika ia pamit untuk berangkat kuliah di Jakarta.
***
Bulan kembali melihat sekeliling dengan sedikit mengangkat kepalanya. Dua orang tentara masih tampak berjaga-jaga di gerbang masuk kompleks gedung MPR yang dibuka sedikit dan hanya cukup untuk dilalui pejalan kaki. Tampak beberapa aktivis berjaket kuning melewati penjagaan dan dibiarkan masuk. Bulan lantas melihat ke dalam melalui celah pagar besi. Tampak ratusan mahasiswa masih bergerombol di teras gedung MPR. Banyak di antara mereka yang naik ke atap gedung bundar. Spanduk-spanduk berbentangan di atap gedung, tapi mata Bulan berkunang-kunang, tak dapat menangkap dengan jelas bunyi tulisan pada spanduk-spanduk itu.

Tiba-tiba angin malam bertiup sangat kencang, disertai serpihan-serpihan air. Mungkin serpihan-serpihan embun yang diterbangkan dari pohonan, atau hujan rintik-rintik. Malam itu langit memang mendung, seperti ikut berduka pada negeri yang rakyatnya sedang dilanda derita akibat krisis ekonomi, dan saat itu mereka telah kehilangan kesabarannya sehingga mendesak pemimpin negeri mereka agar segera turun dari kursi kekuasaannya. Bersama para mahasiswa mereka pun melakukan aksi-aksi demonstrasi secara besar-besaran. Dan, itulah yang mereka sebut sebagai gerakan reformasi.

Tapi, tidak mudah untuk menurunkan presiden mereka yang telah berkuasa selama 30 tahun lebih. Mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan, pentungan, gas air mata, semprotan air, dan peluru-peluru karet yang kadang terselipi peluru beneran. Mungkin mereka para penyusup atau oknum-oknum yang sengaja disusupkan untuk memperkeruh keadaan.

Bersama para aktivis mahasiswa sekampusnya Bulan pun ikut turun ke jalan --untuk ketiga kalinya. Pada demo pertama dan kedua ia merasa asyik-asyik saja, ikut meneriakkan yel-yel di barisan paling depan sambil membentangkan spanduk. Ketika dibubarkan oleh aparat keamanan ia sempat menyelamatkan diri meskipun matanya jadi pedih karena gas air mata. Tapi, pada demo ketiga ia bernasib sial. Setelah terjungkal karena hantaman "meriam air", ia terinjak-injak tentara dan ratusan mahasiswa. Saat itulah dia merasa benar-benar akan mati, dan hanya bisa bergumam "Allahu Akbar" sebelum berjuta kunang-kunang dan kegelapan menyergap kesadarannya.

Dalam kegelapan, Bulan benar-benar kehilangan matahari. Ia terbang jauh menempuh lorong panjang yang tak sampai-sampai ke ujungnya. Di kanan kiri lorong tampak beribu-ribu, bahkan mungkin berjuta-juta tangan, dalam bayang-bayang putih, berderet melambai-lambai padanya. Sempat terbersit dalam pikirannya bahwa ia telah mati dan saat itu ruhnya sedang terbang kembali menuju Tuhannya. Tapi, penerbangan itu dirasanya begitu lama, begitu jauh, dan tak sampai-sampai. Ia ingin berteriak karena kelelahan, tapi tak ada suara yang keluar dari kerongkongannya. Ia ingin menjerit karena kehausan, tapi tak ada minuman yang dapat diraihnya. "Kenapa perjalanan menuju Tuhan begitu menyengsarakan? Apakah karena aku terlalu banyak dosa dan kini sedang menuju neraka?" pikirnya.

Di puncak kesengsaraan itulah tiba-tiba secercah cahaya menyongsongnya di ujung lorong. Bulan mencoba berontak dari kegelapan, mempercepat terbangnya, untuk meraih cahaya itu. Begitu tangannya berhasil menggapai cahaya, ia pun menggeliat sekuat-kuatnya untuk melepaskan diri dari tangan-tangan kegelapan yang terus mencengkeramnya untuk mengembalikannya ke lorong panjang yang hampa itu. Dengan sekuat tenaga akhirnya ia berhasil meloloskan diri dan masuk ke gerbang cahaya. Saat itulah ia membuka matanya, dan menyadari dirinya terkapar dalam gelap malam di luar pagar halaman kompleks gedung MPR.
***
Ingat penerbangan panjang yang melelahkan itu, tubuh Bulan tiba-tiba menggigil hebat. Malam memang telah beranjak ke dini hari, dan udara Jakarta benar-benar terasa dingin sehabis gerimis. Apalagi trotoar tempat ia terbaring juga basah. Angin berkesiur cukup keras, menerpa tubuh dan menggigilkan tengkuknya. Sesekali gerimis menderas dan cepat mereda kembali. Dua tentara yang masih berjaga di gerbang gedung bundar pun sudah menutup tubuh mereka dengan mantel.

Bulan merasa tangan-tangan maut kembali mendekatinya, untuk meraih ruhnya dan menerbangkannya kembali ke lorong panjang tadi, untuk benar-benar menemui Tuhannya. Bulan tahu tiap mahluk hidup pasti akan mati. Begitu juga dirinya. Jika saatnya telah tiba, dia pun akan mati juga. "Tapi, jangan secepat ini, ya Allah. Aku masih terlalu muda. Aku belum siap menghadapMu. Masih banyak yang harus aku lakukan. Masih banyak yang harus aku sempurnakan," gumamnya.

Bulan ingat shalatnya yang masih bolong-bolong. Apalagi saat-saat mengikuti unjuk rasa, karena sebagian besar waktunya habis di jalan. Ia ingat harapan ayah dan ibunya yang memimpikannya menjadi pengacara untuk meneruskan karier sang ayah. Mereka tentu akan sangat kecewa, kalau ia pulang bukan bersama gelar sarjana hukum, tapi bersama peti mayat. "Ya Allah, hamba benar-benar belum siap menghadapMu. Berilah hamba kekuatan dan kesempatan untuk meraih cita-cita itu," doa Bulan dalam hati.

Tapi gerimis tidak juga reda dan dingin malam makin menggigilkan tubuh Bulan. Ia ingin sekali berteriak untuk meminta tolong, tapi tak ada lagi pejalan kaki yang lewat. Sedang dua tentara yang berjaga di gerbang masuk gedung bundar terlalu jauh darinya dan ia yakin tidak akan mendengar teriakannya yang pasti sangat lirih, karena ia sudah kehabisan tenaga. Satu-satunya harapan tercepat adalah datangnya para petugas kebersihan kota yang memang mulai bekerja pada dini hari. Ia berharap mereka akan menemukannya dalam keadaan masih sadar, dan masih menganggapnya sebagai manusia sehingga tidak dilempar ke truk sampah tapi segera dilarikan ke rumah sakit.

Namun, harapan itu tidak kunjung tiba juga, dan ia merasa terlalu lama menunggu. Lama sekali. Dan, sebelum "pasukan kuning" itu datang, kepala Bulan tiba-tiba terasa sangat ringan sehingga ia merasa seperti melayang-layang di udara. Sedetik kemudian berjuta kunang-kunang menyergapnya dan menyeretnya ke dalam kegelapan yang sangat dalam, kembali menerbangkannya ke lorong panjang tak berujung. Bulan tak tahu, kali ini penerbangannya akan sampai ke mana.***

Di Bawah Bulan Separuh

Cerpen Maya Wulan

INI perjalanan pertamaku menjejakkan kaki ke kotamu, kampung kelahiranmu. Tak pernah terbayangkan sebelum ini, aku bisa sampai ke kotamu. Pulau Sumatera sungguh tak pernah masuk dalam peta anganku.

Tetapi, sebulan lalu, tiba-tiba --seperti mimpi-- aku bisa menyeberangi laut dan Selat Sunda. Mimpikah aku? Kau meyakinkan aku, kalau aku dalam dunia nyata. Kau cubit lenganku, kau sentuh pipiku. Terasa kan? Aku mengangguk. Berarti aku memang tidak bermimpi.

Kapal cepat yang menyeberangkan aku dari Dermaga Merak ke Pelabuhan Bakauhuni telah menjadikan nyata bagiku bisa sampai ke kota kelahiranmu. Di sini, pertama sekali yang kucicipi adalah buah durian. Menurutmu buah berkulit duri tajam ini adalah makanan yang nikmat, bisa dibuat apa saja. Bisa dimakan langsung, diawetkan hingga menjadi nama lain yaitu tempoyak, dodol durian. "Atau bisa kita campur sambal untuk lauk makan nasi. Makanmu bisa bergairah, tiga piring tanpa kau sadari bisa masuk ke mulutmu," katamu.

Wow! Aku pun ingin membuktikannya. Lalu kau ajak aku ke Kafe Yayang di Jalan Cut Nyak Dhien Kota Bandar Lampung. Aku menyantap banyak tempoyak yang telah dicampur sambal terasi (kau menyebut sambal khas kampung kelahiranmu ini adalah seruit). Rasanya pedas sekali. Tetapi aku suka. Keringat membasahi wajahku, terutama di bagian kening dan kedua bibirku.

"Kau makan sampai luah iting1," katamu. Aku tersenyum. Tak mengerti maksud bahasamu.

Aku hendak menghentikan makanku, tapi kau terus menyodorkan makanan lainnya. Kau bilang yang terhidang di meja ini semua makanan khas di sini. "Kau bisa mencicipi sekadar, kalau kau sudah kenyang. Kapan lagi kau bisa ke kota ini kalau kau tak mencicipinya sekarang?"

Kau benar. Aku mencicipi semua hidangan yang tersedia. Meski cuma secuil, sekadarnya. Aku jadi ingin berlama-lama tinggal di kotamu. Aku ingin memetik durian langsung dari pohonnya. Kau tahu, tiba-tiba aku mencintai kotamu, seperti aku mencintaimu. Ah, benarkah aku mencintaimu? Kupikir begitu. Meski tak sebesar cintamu padaku.

Cuma, sudah tiga hari di sini aku belum mendengar orang berbicara dengan bahasa ibunya. Tapi dengan bahasa nasional. Aku jadi heran. Kau pun menjelaskan, "Inilah demokratisnya orang Lampung, meski akhirnya bahasanya sendiri seperti tersingkir."

Dan, katamu lagi, "Kami tak pernah terusik. Malah banyak orang asli yang pandai berbahasa etnis lain. Inilah kekuatan kami, terbuka bagi pluralisme," katamu. Aku mengangguk. Tersenyum. Tiba-tiba aku merasa ingin kau gandeng saat menuruni Kafe Diggers, malam ini.

Aku akan menetap di sini selama 3 bulan. Sebagai mahasiswa semester akhir, aku mengambil tugas PKL (Praktik Kerja Lapangan). Aku sengaja memilih PKL di daerahmu agar aku bisa selalu bersama-sama denganmu. Selain itu, katamu sebelum aku mengambil pilihan lokasi PKL, aku bisa mengenal lebih dekat keluargamu secara langsung. Itu kau katakan di suratmu sebelum aku berangkat ke kotamu.

Kalau saja kau melihatku waktu itu, aku hanya mengerutkan keningku seraya berkata dalam hati: Benarkah itu? Benarkah aku telah memilihmu sebagai calon pendamping hidupku? Setahuku aku hanya ingin bisa berduaan denganmu. Itu saja.

"Aku ingin mengenalkanmu pada keluargaku. Terutama orang tuaku dan adik-adikku. Mereka pasti senang menerimamu. Kau gadis Jawa, ayu dan cantik!" pujimu. Aku tersipu. Kurapatkan bibirmu dengan telapak tanganku. Supaya kau tak mengumbar pujian (mungkin rayuan?) untukku.

***
AKU mengira kotamu masih belantara. Masih banyak binatang buas. Menyeramkan. Penjahat beringas. Kenyataannya, kotamu nyaris sama dengan kota-kota lain di negeri ini yang telah maju. Pembangunan sangat pesat. Di sini ada pula swalayan, supermarket, dan bangunan lainnya yang mencerminkan kota maju.

Orang tuaku, terutama ibuku, sempat ragu dengan keputusanku memilih lokasi PKL di kotamu. Ia khawatir aku akan terlantar di kampung halaman orang. Tak bisa lelap karena risau diganggu binatang buas. Itu juga yang membuatmu agak kecewa. Aku memang pernah berkata, "Kalau kau hanya menunjukkan pembangunan yang pesat di daerahmu, sudah tak asing dan khas lagi." Aku setengah protes, tapi setengahnya lagi aku hendak bertahan.

Bagaimanapun kota kelahiranmu memang mengasyikkan. Aku merasakan warganya selalu akur-akur saja, damai-damai saja. Buktinya di sini tak pernah terjadi kerusuhan yang mencapai genting hingga membahayakan keutuhan.

Benarkah itu? Aku masih belum yakin. Berbagai etnis ada di daerah ini, bagaimana mungkin bisa hidup tanpa pernah terjadi pergesekan? Tetapi, sudahlah, aku tak sedang mempersoalkan sosiologi di kampung kelahiranmu.

Sebelum memulai tugas PKL di Desa Bakung2, kau sempat mengajakku mengunjungi Taman Nasional Bukit Barisan di Bengkunat3 yang menawan. Dan jika dikelola, tentunya bisa mendatangkan devisa bagi pemerintah. Aku sempat ketakutan kala warga Bakung melakukan protes soal tanah ulayat dengan perusahaan pabrik gula. Protes itu berkembang menjadi pertikaian. Ada yang tewas dalam insiden itu. Wajar bila warga Bakung protes, karena ganti rugi tanah ulayat mereka yang digunakan ladang tebu oleh pabrik gula milik keluarga Cendana, sungguh tak wajar. Hanya saja dulu mereka tak berani.

Kasus tanah ulayat Bakung itu menarik. Kau memberi banyak informasi dan data tentang itu. "Kau bisa membuat penelitian tentang kasus tanah di situ. Menarik, sangat menarik." Aku tertarik. Kemudian setiap malam aku banyak mengobrol, diskusi, dan masuk ke dalam denyut napas orang-orang Bakung. Kau selalu setia menemaniku.

Aku suka tinggal di rumah orang tuamu daripada di rumah yang disediakan Pak Camat Ari Zamzari selama masa PKL. Rumah tinggalmu terkesan khas: rumah panggung. Suatu hal baru yang tak kujumpai di tanah Jawa. Seluruh penyangga rumahmu terbuat dari kayu. Kayu dari batang yang kuat dan tahan lama. Katamu sudah hampir 70 tahun. Rumah khas seperti itu kini banyak disukai orang-orang berduit dari kota.

Aku jadi ingin menetap di sini kelak. Setelah kau menyunting aku, tentunya. Tetapi, mungkinkah itu? Menurut adatmu, anak tertua sebagai penyimbang, harus menikah dengan gadis asli daerahmu. Kau menyebutnya muli.4 Dengan begitu kau bisa mendapatkan warisan. Anak-anakmu akan mendapatkan gelar dan diperkenankan cakak pepadun.5

Aku yang bukan gadis asli daerah ini bagaimana mungkin bisa mendampingimu? Aku sempat ragu juga. Meski orang tuamu, keluargamu, tampak baik-baik saja denganku. Keluargamu sangat menerima kehadiranku. Itulah yang membuatku betah selama PKL. Namun, diam-diam aku juga bertanya pada diriku sendiri. Sungguhkah aku ingin menikah denganmu? Jangan-jangan tidak. Jangan-jangan aku salah menafsirkan perasaanku padamu. Dan pikiranmu tentangku selama ini keliru. Entahlah. Aku takut dengan rahasia yang kusimpan sendiri. Aku merasa memiliki cinta untukmu. Tapi seberapakah? Dan berhakkah aku?

***
MALAM di Rawa Jitu, aku sempat gemetar. Tulang-tulang persendianku seperti hendak copot. Benar-benar aku dicekam ketakutan. Waktu itu kau tak menemaniku. Kau mendapat tugas mendampingi klienmu di Menggala, ibu kota Tulangbawang.

Bagaimana aku tidak ketakutan. Bahkan aku nyaris mati berdiri. Sekawanan gajah menyerbu perkampungan. Warga menghidupi puluhan obor, tapi kawanan gajah itu tak juga kembali ke belantara. Bahkan parit dengan kedalaman 1,5 meter yang dibuat warga sebagai benteng, bisa dengan mudah dilewati para gajah itu. Kawanan hewan tambun berbelalai panjang itu menggasak rumah-rumah warga. Memorak-porandakan isi rumah, merusak perkebunan warga. Mencabuti ladang singkong dan tebu.

Kami dicekam ketakutan. Kentongan dari kayu tak henti dipukuli. Biar riuh. Agar gajah-gajah itu masuk kembali ke habitatnya. Sayangnya itu sia-sia. Seorang ibu dan dua anak-anak diremukkan dengan belalainya sebelum dilempar ke semak. Mati. Ya, malam itu tiga warga di situ tewas. Pertempuran tak sebanding. Pikirku. Aku benar-benar takut. Gigil. Tiba-tiba aku teringat pada ibuku di Jawa. Apakah ia merasakan apa yang kualami sekarang? Sebuah rasa ketakutan yang sempurna. Aku menyelamatkan diri ke kampung sebelah. Dievakuasi ke daerah lain. Tak hendak lagi menetap di rumah yang disediakan camat. Aku memilih tinggal di rumahmu, bersamamu. Sampai masa PKL-ku selesai.

"Bukankah ini yang kau inginkan?" kau berbisik. Bulan separuh di langit. Kita duduk di bawah pohon jambu dekat rumahmu. Agak temaram. Aku menikmati tanganmu membelai rambutku. Kau masih seperti waktu di kampus dulu. Amat sayang dan memperhatikan aku.

"Sudah berapa lama kita tak seperti ini, ya?"

Kau memandangku sejenak. Kau tak menjawab. Rasanya memang pertanyaanku itu tak memerlukan jawaban. Memang kau lebih dulu selesai. Kau cerdas. Apalagi kau selalu mengambil kuliah pintas, semester pendek. "Aku ingin segera menyelesaikan kuliah. Kasihan orang tuaku di kampung, aku ingin mengabdi pada mereka," katamu. Kau pun berjanji akan tetap bersamaku, akan selalu mencintaiku. "Aku ingin kau menjadi ibu dari anak-anakku…"

Aku percaya. Itu bukan rayuanmu. Kau pun segera bekerja, sebagai pegawai negeri di instansi Departemen Kehakiman. Kau ditempatkan di kantor kejaksaan di kotamu. Surat-suratmu tetap mengalir kuterima. Tapi aku juga tetap membawa rahasia diriku. Tentang cintaku padamu. Yang aku sendiri tak begitu mengerti. Dan kau tak pernah tahu.

"Aku mengagumi ketegasanmu, kekonsistenanmu," aku memuji. Kau hanya tersenyum. Aku getir. Entah kenapa. Merasa bersalahkah? Atau aku mulai bermain lidah? Membohongimu dengan kata-kataku.

Kalau saja tidak karena urusan kuliah dan aku harus segera ujian akhir, mungkin aku akan berlama-lama lagi menetap di kampung kelahiranmu. Aku sudah telanjur jatuh hati dengan kampungmu, dengan keterbukaan warganya, dan keramahan keluargamu. "Terutama denganmu, sayang…" kataku. Tapi bagaimanapun, aku harus pulang. Kembali ke Jawa. Kembali berpisah denganmu. Dengan sebuah rahasia dalam diriku. Tentang cintaku. Diriku.

***
AKU telah mendapat gelar kesarjanaanku. Kau tak datang saat wisudaku karena pekerjaanmu mengharuskan kau tetap ada di kotamu. Aku maklum. Atau….Entahlah. Aku maklum atau justru tak terlalu peduli. Saat itu, di gedung auditorium kampusku, seorang lelaki lain berdiri di sampingku. Ya. Dialah yang mendampingiku selama acara wisudaku berlangsung. Dan, kau tak tahu itu.

Kini aku masih menganggur. Aku tak secerdas kau. Aku harus mencari pekerjaan dengan sekian peluhku. Tak seperti dirimu yang justru dicari-cari pekerjaan. Banyak perusahaan menunggu dan menawarimu pekerjaan bahkan sebelum kau lulus dari universitas.

Bulan demi bulan berjalan dengan cepat. Surat-suratmu masih menyapaku, meskipun semakin jarang saja. Aku tahu kenapa begitu. Bukan karena kau tak mencintaiku lagi, tapi barangkali kau lelah dan bingung. Kau pernah bilang ingin melamarku, tapi ternyata kau harus berhadapan dengan sebuah dinding yang membuatmu begitu dilematis. Keluarga besarmu memang pernah menerimaku dengan baik saat aku di kotamu.

Ya. Mereka menerimaku sebagai tamu mereka. Temanmu. Tapi sesungguhnya, mereka tetap menginginkan kau kelak menikah dengan gadis satu suku denganmu. Berarti bukan aku. Tapi anehnya, aku tak bersedih karena hal itu. Atau berusaha untuk tidak sedih? Atau tidak berani untuk bersedih? Ah. Jika kuingat siapa aku, aku merasa tak berhak untuk bersedih.

Aku mengingat dirimu. Juga surat-suratmu yang kian tak menemuiku di sini. Sedang apakah kau di sana, sayang? Adakah kau mengira aku tengah menangisi nasib cinta kita yang kemungkinan besar tak bisa bersatu? Ah. Tiba-tiba aku ingin sekali memberitahumu yang sebenarnya terjadi padaku di sini.

Aku mencintaimu. Tapi aku tak pernah bisa meyakini diriku sendiri. Aku, sesungguhnya, tak sebaik yang kau kira. Aku bermain di belakangmu. Dengan semua rahasia tentang cintaku. Diriku. Dan kau tak pernah sekali pun tahu. Mungkin, kau tak pernah benar-benar mengenalku. Ataupun kehidupanku. Keluargaku. Terlebih setelah kau menjadi demikian bisu. Jarang menghubungiku.

Keadaan yang mungkin telah membuatmu luka itu, juga surat-suratmu yang hanya sesekali kau kirimkan padaku, malah menjadi alasan untukku menyelamatkan diri darimu. Dengan semua permainanku selama ini di belakangmu. Aduh, sayang, maafkan aku.

Atau aku malah mensyukuri keadaan yang menimpa cinta kita? Mungkinkah aku memang benar-benar mencintaimu? Hanya aku tak berani (malu?) untuk menempuh hidup bersamamu? Aku memang telah tahu keluargamu. Mereka sangat baik, bahkan padaku. Tapi kau sama sekali tidak tahu siapa keluargaku. Iya, kan?

Dan entah kau sadari atau tidak, aku sengaja tak pernah mengajakmu untuk menemui keluargaku. Mengenal ibuku yang menderita sakit sejak aku kembali dari kotamu. Kau pun tak tahu kalau aku tak mempunyai ayah lagi. Sungguh, kau tak mengenalku. Selama ini aku yang kau lihat bukanlah aku yang sebenarnya.

Maka ada rasa senang ketika kutahu keluargamu menolak rencanamu untuk menikahiku. Aku pun tak memrotesmu ketika kau mulai jarang menyuratiku di sini. Mungkin ini yang terbaik untukmu. Karena kau tak tahu aku. Barangkali, kalau kau tahu siapa aku, kau juga akan langsung meninggalkanku begitu saja. Barangkali tak akan pernah ada rencana pernikahan kita di kepalamu.

Aku duduk di sisi kanan ranjang yang menopang tubuh kurus ibuku, di rumah kami yang sempit. Sudah cukup lama ia sakit. Dan sudah begitu banyak obat yang masuk ke perutnya. Tapi ia tak juga beranjak sembuh. Malah sebaliknya. Dadaku sesak. Memikirkan keadaan keluargaku. Ibuku, dan dua adikku yang masih kecil-kecil. Uang yang kumiliki telah terkuras untuk membeli obat-obatan ibuku. Aku beruntung masih bisa menyelesaikan kuliahku.

Aku ingat pada kekasihku di seberang. Semua kenangan indahku bersamanya di kota kelahirannya, masih kuingat dengan sangat rapi. Kini aku tak pernah lagi mendengar kabarnya. Barangkali dia sudah menikah, pikirku. Entahlah. Aku pun ingin menghilang darinya. Saat ini aku harus memfokuskan diriku untuk keluargaku. Agar adik-adikku tidak terlantar. Seperti selama ini akulah tiang keluarga ini. Dan aku berhasil. Bahkan dapat membiayai kuliahku. Meski, cara yang kupilih ini tidak sesuai dengan hatiku sendiri. Tapi, aku terpaksa melakukannya.

Mataku berkaca-kaca. Kesejukan udara pagi berubah menyakitkan bagiku. Suara embun yang menitik di daun kurasakan seperti jarum-jarum yang menusuki dadaku. Aku berusaha menahan rasa sedihku. Di hadapanku, ibuku menghembuskan napasnya yang terakhir. Dua adikku hanya menangis dan menangis. Aku pusing.

Malam menjemputku. Ini malam ke sepuluh setelah kematian ibuku. Kegelapannya seolah berusaha menutupi semua kesedihan yang terlukis di wajahku. Aku masih menganggur. Tapi aku tak mungkin menunggu lebih lama lagi. Aku dan kedua adikku harus melanjutkan hidup kami. Demi mereka, batinku. Maka….

***
AKU telah berdandan rapi. Seperti yang biasa kulakukan selama aku masih kuliah dulu. Kutinggalkan rumah. Ada rasa jengah pada diri sendiri. Tapi kumusnahkan.

Aku kembali pada pekerjaan lamaku. Menjadikan malam-malamku sebagai ajang pertempuran. Pergumulan. Aku membayangkan sekian lembaran uang kertas di tanganku besok pagi.

Seorang lelaki kini tengah menindih tubuhku yang telanjang. Di sebuah hotel, kamar 105…

***
MUNGKIN kau tak akan pernah tahu, atau sama sekali tak mau peduli, tentangku. Aku pun begitu. Tak pernah mengharap, bahkan untuk selembar kabar darimu. Meski kenangan-kenangan semasa aku di kampung kelahiranmu, tak pernah akan pupus.

"Setiap tamu datang dan meminum air sungai ini ia pasti akan kembali. Air sungai ini seperti menghipnotisnya. Sungai Tulangbawang ini kami yakini bertuah," ujarmu. Di bawah bulan separuh. Langit cemerlang. Sungai tua bernama Tulangbawang6 tengah tenang berombak, di kejauhan tampak samar-samar.

Waktu itu aku tak begitu yakin. Itu hanya dongeng. Legenda. Bisa kita lupakan. Ternyata benar. Aku tak akan pernah kembali ke kampung kelahiranmu. Meski kenangan-kenangan itu masih terang di benakku. Juga tentang dirimu. Cinta kita.

Kubiarkan segala kenangan dan cinta kita tetap ada, betapa pun aku telah berpindah-pindah dari lelaki satu ke lelaki yang lain. Masuk hotel dan keluar hotel. Ditiduri. Kota ini akan menyembunyikan diriku. Tak seorang pun tahu. Seperti malam ini, jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 03.15, dengan langkah gontai karena kebanyakan air beralkohol kutinggalkan kamar hotel itu.

Pulang. Ya. Sebelum pagi menjemput. Sebelum bulan separuh di atas kepalaku lesap di peraduannya. Aku masih saja terkenang kampung kelahiranmu yang menyimpan selaksa harapan. Ya, harapan…***

Mahasiswa Tio

Cerpen Arie MP Tamba

Di masa depan, Tio akan mengulang-ulang terus pengalaman masa lalu seperti pada tengah hari yang nahas itu. Setelah gagal mendapatkan angkutan umum yang akan membawanya pulang ke rumah, ia terdampar di sebuah mulut gang di pusat pertokoan dan perkantoran. Seorang anak lelaki dengan kaca mata hitam ditegakkan di kepala, menghampiri dengan tatapan curiga. Si anak mengenakan rompi kulit berwarna coklat longgar, membungkus belakang tubuhnya sampai ke pantat; kaus kuning melebihi ukuran badan sampai ke lutut; celana jins kepanjangan, hingga bagian kakinya digulung berkali-kali; dan sepatu kets putih yang juga kebesaran, hingga ia menyeret kedua kakinya agar sepatu itu tidak terlepas.

Anak itu, dengan dua arloji di tangan kanan dan dua arloji di tangan kiri, mengeluarkan sebungkus coklat besar dari kantung rompi, merobek bungkusnya, lalu mengunyah dengan lahap, seraya menoleh ke arah keramaian yang bergemuruh di jalan besar pertokoan dan perkantoran yang tak jauh dari mulut gang itu.

Huru-hara masih berlangsung. Orang-orang bergerombol berteriak-teriak riuh dan menyerbu kalap, membuka paksa pintu-pintu dorong dan jeruji toko-toko dengan tangan, linggis, dan berbagai peralatan yang terjangkau dan dipungut sekenanya di jalan atau sengaja dibawa dari rumah. Lalu, setelah toko-toko yang ditinggalkan para penghuninya dengan ketakutan itu terbuka menganga tanpa tuan, para penyerbu saling berebutan menjarah berbagai barang yang terhampar atau teronggok di hadapan, menyeretnya menjauh, mengangkatnya dengan kedua tangan, mengusungnya di pundak, langsung memasukkan ke dalam kantung plastik atau buntalan kain, membopongnya meninggalkan toko dengan tergesa, serabutan, namun bersiaga terhadap kemungkinan perampasan oleh yang lain; lalu berlari-lari, meliuk-liuk mengamankan barang-barang itu, di antara orang-orang berseliweran dengan keperluan serupa.

Maka, bergulung-gulung karpet, pakaian, benang; berkardus-kardus sepatu, rokok, kosmetik, minyak wangi, kalkulator, radio, taperecorder, kaset, CD, termos; berbuntal-buntal arloji, topi, buku, blangkon, tas; berbungkus-bungkus bumbu masak, keripik udang, permen, coklat, keju, kue bolu, beras, kopi, gula, mie instan, roti kaleng, kecap, sirup, panci; simpang-siur dalam bawaan orang-orang yang dengan sigap ingin cepat-cepat menyembunyikan di pangkalan sementara, atau langsung menuju rumah bila rumah mereka tak jauh dari areal pertokoan tersebut. Lalu, mereka akan kembali lagi ke toko-toko atau perkantoran untuk mengambil barang-barang apa saja yang masih ada dan tersisa, sebelum didahului atau dihabiskan orang lain. Toko-toko dan perkantoran di pinggir jalan besar itu semuanya kini menjadi milik siapa saja, bebas dimasuki, dijarah, dan juga dibakar!

Keributan suara-suara meneriakkan: "Hey, Min!", "Tigor!", "Asep!", "Gus!", "Jo!", "Bur!", "Ke sini!", "Bawa sekalian!", "Simpan di belakang kios!", "TV, TV!", "Kulkas", "Bir, bir!", "Wah, BH, celana dalam, sambal, kecap!", "Taruh, taruh langsung di kamar!", "Yang di plastik di dapur, yang di kardus di kamar!", "Jangan salah tempat!", "Hati-hati!", "Jangan diambil orang!", "Ingat, harus segera ke rumah!", "Langsung kasikan ibu!", dan lain-lain, tumpang-tindih di sekitar, berlomba menyerbu pendengaran dan penglihatan Tio. Sementara anak itu menghabiskan coklatnya dengan tergesa, mulutnya belepotan coklat, sementara sepasang matanya secara samar mengawasi Tio, seraya ia kini mengeluarkan permen dari saku celana. Sedangkan suara-suara masih membahana, saling tindih, dan kali ini lebih bergelombang ke sebelah kiri mulut gang dan di seberang jalan.

Suara-suara yang memekakkan Tio, di tengah kesendirian perasaan yang semakin menyesaki benaknya, di antara bayang-bayang pengalaman sebelumnya yang kembali membentang. Ia sedang dalam perjalanan menuju kampusnya di wilayah barat kota, ketika demonstrasi dan kekacauan semakin marak di jalan yang mereka lalui. Tio terpaksa turun dari bus kota yang ditumpanginya, karena sesuai permintaan sebagian besar penumpang yang umumnya orang kantoran, bus kota itu membatalkan perjalanan dan kembali ke terminal pemberangkatan mereka sejam yang lalu. Hidup sebagai penonton, yang sepatutnya tidak dirugikan, barangkali sangat penting bagi orang-orang kantoran itu. Mereka harus melindungi anak dan istri yang ditinggalkan di rumah, atau menyelamatkan hidup mapan mereka dengan menghindarkan kemungkinan bencana apa pun yang kelihatannya bisa menyerang, dari membesarnya huru-hara yang menimpa kota itu!

Sebenarnya, beberapa penumpang sebelumnya telah turun dan pindah ke bus-bus lain yang sudah memutar sejak awal, dan beberapa penumpang terbirit-birit menyewa ojek yang tiba-tiba ramai berkeliaran mengepung bus. Sementara Tio enggan menyelamatkan diri, karena merasa tidak layak setakut mereka. Sebab, ia "terlibat" sebagai pelaku atau bagian dari demonstrasi dan kerusuhan di luar bus kota itu. Mengikuti gelombang perlawanan mahasiswa kepada rezim pemerintahan korup selama berminggu-minggu, mereka telah melakukan demonstrasi gabungan dengan kampus-kampus lain yang lebih besar dan terkenal di seluruh negeri. Dan, puncaknya, dalam suasana perkabungan, kemarin mereka mengantarkan lima orang mahasiswa ke pemakaman karena tertembak bersama rekan-rekan lainnya di dekat kampus mereka sehari sebelumnya.

Tapi, pagi itu, rasa getir dan sinis kepada diri sendiri pun menggigit-gigit kesadaran Tio ketika ditinggalkan sendirian oleh orang-orang kantoran yang ketakutan meneruskan perjalanan. Tio tiba-tiba merasa memang tidak memiliki kehidupan berharga yang harus diselamatkan dari kekacauan itu. Ia hanyalah seorang mahasiswa yang tidak memiliki keperluan penting, datang ke pusat kota; kecuali berkumpul dengan teman-teman sekampus "mendengarkan" lanjutan rencana demonstrasi gabungan seluruh kampus kota mereka. Ia hanyalah seorang mahasiswa "pengikut" dengan kecerdasan terbatas, di sebuah perguruan tinggi swasta yang tidak terkenal.

"Jangan sembunyi di sini!" Anak itu akhirnya menegur bimbang, ketika menyadari Tio yang jangkung itu masih bertahan dan bengong.

Tio mengitarkan pandang. Mereka "ternyata" berada di belakang sebuah kios, dan ia melihat berbagai bungkusan dan buntalan-buntalan barang di samping kakinya. Tio membungkuk dan meraba sebuah buntalan. Tio menarik sebuah benda dingin dan keras dari mulut buntalan; sebuah walkman menyembul. Dengan wajah khawatir, anak itu merebut walkman dari pegangan Tio dan memasukkannya ke dalam buntalan.

Tio merunduk. Matahari siang menyorot tajam. Tak jauh dari kios itu, di jalan besar, menggunduk timbunan sampah yang kelihatannya dibiarkan menumpuk dari hari ke hari. Bau sengitnya menyebar tapi orang-orang tak perduli dan kelihatan tidak terganggu. Mereka terus berseliweran di jalan besar membawa barang-barang dengan buntalan-buntalan penuh, kardus-kardus rapi, tas plastik dijejali barang, keluar masuk gang di sini dan di sana, memanggil-manggil, berteriak-teriak, simpang-siur di antara suara-suara "tembakan" yang sesekali terdengar menyela gemuruh siang.

Lalu, seorang lelaki berusia empat puluhan, mengenakan berlapis-lapis baju baru dan sebuah jaket kulit hitam, memundak buntalan besar dengan wajah berkeringat menghampiri persembunyian Tio dan si anak di belakang kios itu. Lelaki itu terkejut menemukan Tio, dan tampak kurang senang karena anak itu membiarkan seorang asing berada di dekat barang-barang mereka. Lelaki itu menaruh buntalan di samping bungkusan lainnya. "Siapa kamu? Mau apa di sini?" tanyanya mengancam ke arah Tio.

Lelaki itu kemudian mengeluarkan rokok luar negeri dari saku jaket kulitnya yang tebal dan baru, mengeluarkan mancis keemasan dari saku celana jinsnya yang baru, dan seperti sengaja memamerkan arlojinya, kalung emasnya, sepatu kulitnya, berdiri tegak menyalakan rokok, mengisapnya, menghembuskan asapnya ke arah Tio.

"Saya...saya..."
"Takut terkena peluru nyasar, ya?"

"Saya mau pulang, kalau sudah aman."
"Tapi kenapa berhenti di sini?"

"Sepedanya mana, Yah?" anak itu menyela.
"Sepedanya mudah-mudahan ayah kebagian!" kata lelaki itu seraya matanya tetap ke arah Tio.

"Om dapat mempercayai saya. Saya akan menjaga barang-barang Om. Tadi saya mau ke kampus ketika bus yang saya tumpangi membatalkan perjalanan. Seandainya tadi malam saya tidak pulang ke rumah, tidur di kampus seperti yang lain, pasti sekarang saya tidak di sini, mungkin berdemonstrasi bersama teman-teman ke istana!"

"Oh, begitu?" Lelaki itu kembali menghembuskan asap rokok ke wajah Tio. Lalu seperti teringat sesuatu, ia mengeluarkan selampe baru dari saku celananya, kemudian melap keringat di keningnya, dan kembali memandang Tio yang mengenakan kaus, jins, dan sepatu kets yang sudah kucel.

"Percayalah, saya akan menjaga barang-barang Om bersama anak Om," ulang Tio
"Ya sudah. Kalian tunggu di sini!" Lelaki empat puluhan itu lagi-lagi menatap tajam ke arah Tio, mengantungi selampe, segera mengambil beberapa arloji mahal dari sebuah buntalan, beberapa bungkus rokok luar negeri dari sebuah kardus besar, menjejalkan semuanya ke saku celana, baju dan jaketnya dengan terburu-buru, lalu mengisyaratkan kedipan mata "hati-hati" ke arah anaknya, baru kemudian menghilang di antara orang ramai.

Sepeninggal lelaki itu, Tio sesaat tersinggung oleh kedipan mata itu, dan sempat dihinggapi keinginan culas untuk mengambil beberapa walkman dan arloji, lalu berlari meninggalkan tempat itu, menerobos keramaian, mencari-cari kendaraan umum yang rutenya ke arah rumahnya di pinggir kota. Tapi lamat-lamat telinganya masih mendengar suara tembakan demi tembakan di antara hiruk-pikuk itu. Membuatnya kembali merisaukan keselamatannya di antara tiang-tiang asap kebakaran yang menghitam, membubung, meliuk, di sini, di sana, di kejauhan --seakan mengabarkan bencana ke ketinggian awan putih di atas sana-- sekaligus mengotori cakrawala bening kota besar, yang dulu terkenal ramah itu.

Lalu, suara tembakan demi tembakan meletus nyaring, tak jauh dari mulut gang. Orang-orang buyar ke kiri dan ke kanan, berteriak-teriak panik menggondol erat buntalan dan bungkusan di tangan dan di pundak. Dan tembakan meletus lagi, meletus lagi, kali ini berturut-turut, semakin nyaring, semakin memekakkan pendengaran Tio. Orang-orang berteriak-teriak kalap, orang-orang simpang-siur menyelamatkan diri. Saling menabrak dan mendorong, ingin melarikan diri atau bersembunyi. Yang limbung terjepit, terseret, yang jatuh tertindih, terinjak. "Aduh, aduh, aduukhh!" jeritan anak itu mengoyak pendengaran Tio, dan ia menampak anak itu memuntahkan permen dari mulutnya dan kaca mata hitamnya terlontar dari kepala.

Sesaat anak itu seakan lunglai kehilangan tenaga, tapi secara aneh dan berkekuatan besar, terhempas ke tubuh Tio. Sebuah hentakan berat menghantam Tio. Kepala anak itu membentur perutnya. Keduanya kemudian terlontar ke atas tumpukan kardus, buntalan dan bungkusan. Beberapa buntalan dan bungkusan yang tidak terikat kencang, terbuka, dan isinya berupa walkman, arloji, gulungan kain, baterai, gunting, coklat, pisau cukur, minyak wangi, kecap, sambal, detergen, dan barang lainnya berserakan. Tio merasakan punggungnya sakit, menindih berbagai botol dan barang-barang keras terbungkus kardus, dengan tubuh anak itu membebaninya.

Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Tio pun melihat wajah seorang anak seusia adiknya, namun begitu asing baginya --sesaat begitu dekat-- lalu menjauh dan terkulai di samping tubuhnya. Lalu, ketika ia menarik tangannya dari tindihan tubuh anak itu, untuk pertama kalinya pula ia melihat darah manusia begitu kental, memerah hangat di telapak tangannya, membercak membasahi kausnya, dan membercak bundar merah tua, memenuhi bagian dada kaus anak itu.

Darah. Darah merah berceceran. Anak itu tertembak. Anak itu tergeletak. Peluru nyasar menjarahnya. Sementara ayah anak itu entah ke mana. Anak itu mendesis ketakutan dan mengerang kesakitan. Mulut anak itu kini penuh darah, darah. Tatapannya nanar ke arah Tio yang sedang bangkit, dan menoleh gelisah ke arah barang-barang jagaannya yang kini berserakan. Anak itu mengangkat tangan kanannya yang lunglai, diberati empat arloji; entah kapan ia menambahinya. Anak itu berusaha menggapai sebungkus coklat, tapi Tio tak dapat lagi menatap berlama-lama.

Tio sudah berdiri gelisah. Hiruk-pikuk manusia di sekitar semakin ramai dan sebagian kini berkerumun menghampiri. Wajah-wajah asing penuh keringat memandang kalap dan ingin tahu, berganti-ganti dengan bayang-bayang wajah ibunya, adik-adiknya, temannya sekampus, tetangganya, anak itu, ayah anak itu, orang-orang berebutan barang, rokok luar negeri, sepatu kulit, jaket hitam, mancis baru, walkman, arloji, gulungan kain, kaca mata hitam, permen, coklat, botol kecap, bir, sirup, bumbu masak, bus kota yang kabur menghindari penumpang, orang-orang berlarian, suara-suara tembakan --semuanya berdenyar dan mengabur di depan, di samping, di belakang-- berupa cahaya menyala-nyala, sinar menyambar-nyambar, dan suara hingar-bingar menggelapi dan menggedori kesadaran Tio.

Orang-orang masih berkelebat-kelebat, sementara Tio kemudian memaksakan diri untuk berlari, berlari, terus berlari ke arah tepi keriuhan dan keramaian di sekitar. Tapi tepi keramaian dan keriuhan itu tak juga tampak. Ia masih saja terhadang oleh keramaian dan keriuhan, orang-orang berseliweran, suara-suara tembakan, teriakan-teriakan kalap, dan bau asap, bau asap, bau daging terbakar, bau daging terbakar. Dan langkahnya kemudian semakin berat dan melambat, berat dan melambat, meskipun ia telah berlari menggunakan segenap kemauan dan tenaganya.

Tak tahan lagi, tubuhnya kini limbung dikuyupi keringat dan darah, wajahnya kotor disaput debu tengah hari, dan perasaannya rusuh dilanda cemas mengerikan, ketika rasa perih akibat luka menganga di bagian perutnya --semakin nyata dan menyakitkan. Di masa depan, bila ia masih dapat mengulang-ulang peristiwa nahas pada siang mengesalkan itu, sungguh tak ada tempat terjauh baginya saat itu, kecuali rumah!***

Nokturno

Cerpen Aris Kurniawan

Setelah menghunjamkan belati ke jantung laki-laki itu menatap dengan mata kosong saat dia mengerjat meregang nyawa, perempuan itu menyeret dan membuang mayatnya begitu saja ke dalam semak-semak belakang rumah. Beberapa saat ia menatap tubuh kaku itu tersungkur memeluk belukar. Tubuh yang semalam lalu masih memberinya kehangatan. Perempuan itu kemudian buru-buru melucuti seluruh pakaiannya setelah mengepel ceceran darah di lantai, lantas mandi merendam tubuhnya dengan air hangat dalam bathtub. Hujan masih rintik-rintik menimpa genting dan daun-daun, suaranya terdengar bagai orkes malam yang menggores perasaan. Ia menikmatinya sambil meresapi sensasi kehangatan yang menjalari saraf-saraf sekujur tubuhnya sampai merem melek.

Kini ia telah berpakaian rapi. Bibir mungilnya dipoles lipstik warna merah jambu.Warna yang cocok untuk menyembunyikan kegugupan sekaligus kebuasan. Ia tersenyum sendiri di depan cermin, berusaha meyakinkan diri bahwa perasaannya tetap tenang. Di luar malam begitu hitam pekat. Angin basah berkesiur menggebrak jendela. Perempuan itu seperti tidak juga merasa yakin bahwa perasaannya tetap tenang. Di cermin ia menatap wajahnya yang pucat perlahan menegang, kerut merut kulit wajahnya makin mengeras. Wajah yang memperlihatkan bermacam keinginan yang tak pernah tuntas. Ia seperti melihat penggalan-penggalan peristiwa dengan banyak cerita yang kadang terlalu sulit dimengerti. Perempuan itu lantas menghembuskan nafas dengan berat, seakan ingin menghempaskan semua yang telah dilakukannya. Apakah sebenarnya yang aku inginkan dari semua yang sedang terjadi?

Wajah yang menyeringai menahan kesakitan luar biasa itu beberapa lama bagai nempel di pelupuk matanya. Ketika ia menatap wajahnya di cermin yang nampak adalah wajah kesakitan itu. Tapi perempuan itu terus menatapnya dan mencari-cari wajahnya sendiri di balik wajah yang menyeringai itu. Ia terbiasa untuk selalu berpikir rasional. Ia sudah terlatih untuk tidak sentimentil. Ia sudah piawai bagaimana menekan perasaan-perasaan kewanitaannya.

Apa saja yang sudah kulakukan untuk hidup yang runyam ini? Tiba-tiba pertanyaan itu memercik dalam kepalanyanya. Percikan yang semakin lama terasa semakin besar dan membuat kepalanya berdenyut nyeri. Ya, hidup macam apa yang tengah kujalanai ini? Apakah ada artinya untuk hidup itu sendiri? Perempuan itu menatap langit seperti mencari jawaban di sana. Tetapi langit masih saja kelam dan hampir tak menyisakan harapan. Ia mendesah. Masih mengiang ucapan laki-laki itu entah beberapa malam yang silam.

"Dasar pelacur. Pergilah sesukamu dan jangan pernah kembali?"
Ia merasa heran kenapa laki-laki itu merasa punya hak untuk mengatur hidupnya hanya karena dia telah menikahinya. Pernikahan yang dulu disangkanya akan dapat memberikan perlindungan bagi kebebasannya justru telah menjeratnya dalam sangkar yang penuh aturan. Untuk apa lembaga pernikahan itu? Apakah ia diciptakan memang untuk mengekang kebebasan seseorang?

"Siapakah yang salah?" batin perempuan itu mendesah. Ia menaikkan krah sweaternya lebih tinggi. Rambutnya yang keriting panjang dan sedikit pirang dia ikat ke belakang. Lantas menyalakan rokok, menyedot dan menghembuskan asapnya kuat-kuat. Betapa enaknya hidup ini bila kesulitan dapat dihembuskan semudah menghembuskan asap rokok, lamunnya.

Dulu sebelum laki-laki itu menikahinya dia sudah mengajukan beberapa persyaratan. Laki-laki itu sepakat. Kata suaminya pernikahan bukan untuk menyatukan dua pribadi yang memang tak pernah sama.

"Pernikahan adalah cuma sebuah sarana di mana orang harus punya komitmen untuk saling memahami, saling mengerti, saling menghargai. Tidak ada yang lebih berkuasa dan dikuasai di antara dua orang yang terikat dalam pernikahan. Kedua belah pihak memiliki hak yang sama dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama."

Di luar angin tak bersuara. Ia seperti bergerak mengendap dan berjingkat hendak meninggalkan malam yang bimbang. Perempuan itu bangkit dan menutup tirai jendela. Jam menunjuk angka dua. Sama sekali ia tidak mengantuk. Tiap malam ia hampir selalu begadang, membaca, menggunting tulisan-tulisan koran untuk dokumentasi, menulis novel, puisi, diskusi, cekikikan bersama teman-temannya yang juga sebenarnya teman-teman suaminya. Begitulah cara ia memberi makna pada hidup. Sebuah cara yang membuatnya bergairah memandang kehidupan yang terentang di hadapannya.

Apakah selama ini aku telah salah memaknai hidup? Benar dan salah, di manakah batasnya? Betapa ruwetnya hidup ini bila harus selalu dibatasi dengan benar dan salah. Astaga, sialan betul hidup kalau begitu.

Dua malam lalu dia baru saja menyelesaikan sebuah novelnya. Mengundang beberapa temannya untuk mendiskusikan di sebuah kafe. Menelepon pers untuk meliputnya. Acara itu berlangsung cukup meriah. Dia merasa bahagia. Merasa hidupnya tidak sia-sia. Sebaliknya laki-laki itu menganggapnya keterlaluan. Semaunya sendiri. Dan menuduhnya telah mengabaikan tugasnya sebagai perempuan, sebagai istri.

"Kamu telah melanggar hakku sebagai suami," kata suaminya.
"Dan kamu tidak melanggar hakku sebagai perempuan?!" balasnya sengit. Aku memang perempuan tapi aku juga punya hak menentukan pilihan hidupku, pikirnya. Kenapa hanya karena perkawinan seorang perempuan harus membatasi diri? Tidakkah itu penindasan terhadap hak asasi? Apa yang membedakan perempuan dan laki-laki sehingga mereka harus dibeda-bedakan berdasarkan jenis kelamin dalam pekerjaan, peran sosial, dan norma-norma yang tidak jelas hubungannya itu. Apa memang harus begitu? Siapa yang mengharuskan?

Dari dulu sebenarnya dia bertekad untuk tidak menikah. Baginya menikah sama saja dengan menyerahkan kebebasannya pada aturan-aturan yang tidak rasional dan diskriminatif. Dia sudah banyak menulis cerpen, esai, maupun novel untuk menuangkan gagasan-gagasannya. Dia ingin setia dengan tulisan-tulisannya. Dia membenci sebagian teman-temannya yang cuma bisa menulis sementara dalam kehidupan sehari-hari mereka menyerah dan hampir tidak ada usaha apa pun untuk merombak keadaan yang dikecamnya sendiri. Di matanya mereka tak lebih dari pembual-pembual nomor satu. Tidak punya komitmen dan cuma menjual kebohongan-kebohongan untuk menunjang hidupnya. Ya, dia melihat satu per satu teman-temannya menikah dan meninggalkannya.

"Ya menikah dan berbahagialah kalian bersama keluarga."
Dia tidak percaya bahwa pernikahan sebagai satu-satunya cara menjalani kehidupan untuk bahagia. Namun begitulah, dia juga tidak percaya kenapa kemudian dirinya harus menikah. Semuanya seperti begitu saja berlangsung. Begitu cepat, begitu tak terkendali. Sampai tiba-tiba dia mendapati dirinya sebagai ibu rumah tangga yang harus tunduk pada sejumah aturan. Harus bangun pagi-pagi, menyiapkan sarapan untuk suami, meracik kopi, mencuci, belanja ke pasar, tawar-menawar dengan penjual sayuran, menyapu halaman mengepel lantai, menyiram tanaman, bila malam melayani suami di ranjang. Wejangan-wejangan, nasihat-nasihat?

"Perempuan itu harus pintar masak. Harus pandai dandan, menjaga badan. Tidak boleh bangun, kesiangan, tidak boleh pergi sendirian, tidak boleh urakan, tidak boleh melawan tidak boleh?"

Untuk beberapa bulan ia berusaha mengikuti kebiasaan yang sudah berjalan. Belajar menikmati perannya sebagai perempuan setia meskipun dalam benaknya tak pernah percaya dengan ide semacam itu. Menganggapnya lucu. Akhirnya ia memang tidak tahan menahan-nahan kemelut dalam benaknya sendiri.

Perempuan itu menghempaskan tubuhnya ke sofa, memandang langit-langit. Di sana ia seakan mencari jalan hidup mana yang harus ditempuhnya. Tapi semuanya seakan menggelap dan sukar ditebak. Ia bangkit lagi. Malam kian larut melantunkan kesunyian yang akut. Hujan sudah selesai. Suara katak yang berirama di luar terdengar sangat merdu bagai datang masa lalu.

Perempuan itu tiba-tiba tersenyum, ada semacam kecemasan menggelikan yang tiba-tiba menyergapnya. Hidup memang penuh jebakan, batinnya. Siapakah yang telah memasang jebakan-jebakan itu? Tidakkah manusia merasa dijebak? Perempuan itu bangkit, lalu berjalan hilir mudik di tengah ruangan yang seakan bungkam dan tak mau komentar apa-apa. Biasanya ruangan ini selalu melontarkan komentar-komentar tentang penghuninya. Benda-benda pun kadang memperhatikan dan mengomentari tindakan manusia. Cara mereka merespons itulah yang tidak setiap orang merasakannya.

Pada masa remaja ia pernah pacaran dengan beberapa laki-laki. Ia heran, setiap laki-laki selalu menuntut kesetiaan. Sementara ia merasa setiap orang tidak harus setia pada seseorang. Setiap orang tidak punya hak menuntut orang lain untuk setia pada seseorang. Setiap orang lahir untuk meraih kemerdekaanya masing-masing.

"Apa hakmu memintaku setia? Aku ini orang merdeka." Begitu selalu kredonya.
Terdengar ayam jantan berkokok. Nampaknya hari menjelang subuh. Perempuan itu seperti baru tersadar dari tidur, dia tergeragap dan melangkah cepat-cepat masuk kamar. Ia telah menyiapkan tas besar dan memasukkan beberapa potong pakaian, buku-buku serta peralatan kecantikan. Lantas dengan sigap mengenakan sepatu ketsnya yang berwarna putih.

"Aku harus pergi," ucapnya pada diri sendiri.
Dia bersiap meninggalkan rumah itu tepat ketika azan Subuh melengking dari sebuah musala tua satu-satunya di kompleks perumahan itu. Namun hatinya kembali goyah. Ia memandang rumah itu dengan perasaan kosong yang sulit dijelaskan seperti apa. Diam-diam penyesalan dan rasa salah menyelinap di benaknya. Makin lama makin membesar. Perasaan yang baru kali itu dialaminya. Lantas ragu harus pergi ke mana. Lantas ia merasa semuanya tak berguna. Lantas meraih belati yang tadi digunakan untuk membunuh suaminya, menggegamnya erat-erat dengan kedua belah tangannya, lantas diangkatnya tinggi-tinggi dan diayunkannya dengan mantap ke dadanya? ***

Bukan (Anak) yang Pertama

Cerpen Tarti Khusnul Khotimah

Malam, lewat pukul sembilan. Di kamar, Zahra dan suaminya, Ali, baru saja selesai menidurkan kedua anak mereka --Hasan, lima tahun, dan Laila, dua setengah tahun.

"Ayah, sudah 30 hari lebih kok belum nongol-nongol juga ya… bulannya? Padahal, biasanya hanya selang 27 atau 28 hari. Apakah…?" sambil menerawang, Zahra tak meneruskan kalimatnya.

Hening. Diliriknya suaminya yang berbaring di sampingnya. Tak bereaksi --seperti biasanya, tenang-- entah sedang mencari-cari kata jawaban yang pas atau memang menurutnya tak perlu berkomentar.

Kesunyian menguasai mereka berdua, semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya, tak lama kemudian Ali beringsut dan dengan penuh kasih sayang dikecupnya kening Zahra dan dielus-elusnya perut istrinya yang sangat dicintainya itu.

"Kurasa tidak adil...," keluh Zahra, memecah kesunyian, "mengapa kehadiran apa pun, jika ia bukan yang pertama, dianggap tidak istimewa dan biasa-biasa saja? Mengapa ia tak disambut sebagaimana mestinya?" lanjutnya setengah sewot.

Lagi-lagi, tak sepatah kata pun keluar dari mulut suaminya. Tak jelas apa yang sedang berkecamuk di hati suaminya itu.

Entah mengapa, Zahra akhir-akhir ini sering memendam perasaan khawatir akan masa depan yang harus dilaluinya. Hingga kini, mereka yang telah dikaruniai dua anak itu, masih menumpang hidup di rumah orang tua Ali. Padahal orang tua Ali sendiri masih harus menanggung beban lima anak yang lain --adik-adik Ali-- yang kesemuanya masih membutuhkan biaya kuliah atau sekolah.

Sekitar enam tahun yang lalu Zahra dan Ali menikah. Waktu itu mereka berdua masih sama-sama kuliah tingkat akhir, tinggal skripsi. Sebenarnya Zahra ingin menyelesaikan dulu kuliahnya yang hampir terbengkelai untuk kemudian bekerja dan baru akan menikah. Tetapi, rupanya sang calon suami berkehendak lain. Ali inginnya segera cepat menikah.

"Kita saling mencintai. Usia kita juga sudah matang, 25 tahun. Apa lagi? Penghasilan…? Sedikit-sedikit dari hasil nulis di koran juga sudah lumayan. Anugerah Tuhan tidak boleh disia-siakan," begitu kilah Ali.

Ali memang tipe orang yang sangat optimistis menghadapi masa depan, meski terkadang terasa kurang rasional, menurut Zahra. Dengan modal semangat idealistik, layaknya seorang pejuang, ia berhasil membujuk dan meyakinkan kedua orang tuanya untuk meminang Zahra, kekasihnya. Akan halnya Zahra, yang semula bersikeras tidak akan menikah sebelum bekerja, akhirnya luluh juga. Zahra tak kuasa menolak tali kasih cinta Ali yang hendak diwujudkan ke dalam bentuk pernikahan suci.

"Apa kata ibu nanti... ?" kembali desah Zahra. Nadanya terdengar pesimis. Ia sudah membayangkan bagaimana reaksi ibu mertuanya. Wajah dan kata-katanya tentu sangat tidak mengenakkan hati.

Terbayang kembali di hadapan Zahra bagaimana kejadian tiga setengah tahun yang lalu, saat ia hamil yang kedua kalinya. Belum sempat ia memberitahu ibu mertuanya tentang kehamilannya ini, beliau telah terlebih dahulu menegur mengapa anaknya yang pertama keburu disapih padahal belum genap umur dua tahun. Ia pun mengatakan keadaan yang sesungguhnya. Tidak disangka, ibu mertuanya menyesalkan terjadinya kehamilan itu. Dikatakannya bahwa mereka sembrono, tidak hati-hati.

"Bikin anak itu enak, gampang. Tapi ngurusnya yang susah. Apalagi ini… kamu… anak yang pertama saja masih kecil, baru satu setengah tahun. Ngurus satu saja masih kewalahan...," cerocos ibu mertuanya mengingatkan, walau sebenarnya sia-sia saja karena semuanya telah terlanjur.

"Kalian sudah dewasa…sekolah kalian tinggi... Sekarang zaman sudah maju, peralatan sudah lengkap, tinggal pilih... Mengapa kalian tidak bisa merencanakan dengan baik jarak kelahiran anak kalian?" gerutu ibu mertuanya lagi, masih menyesali keadaan.

Zahra mencoba membela diri. Dia menjelaskan kepada ibu mertuanya bahwa dia memilih tidak memakai alat kontrasepsi lebih disebabkan oleh keinginannya untuk tidak menyalahi kodrat Ilahi. Selain itu, ada kecenderungan pada diri Zahra untuk membayangkan hal-hal buruk akibat efek samping dari pemakaian alat kontrasepsi sebagaimana yang ia dengar dari beberapa pengalaman orang-orang yang pernah memakainya. Suaminya juga membebaskannya dalam mengambil keputusan. Maka, Zahra pun memilih jalan yang dipandangnya paling aman: memasrahkan semuanya kepada Tuhan. Bila dikehendaki untuk hamil akan diterima dengan senang hati, bila tidak itu berarti belum waktunya.

Namun, sang ibu rupanya tidak bisa memahami jalan pikirannya. Zahra menjadi resah dan gelisah. Perasaan itu begitu menekan di dalam dada. Kegelisahan oleh keinginan untuk terbebas dari bayang-bayang ibu mertuanya. Kegelisahan menghadapi masa depan yang belum jelas. Kegelisahan menghadapi kecemasan-kecemasan.

"Kalau...," tiba-tiba suaminya angkat bicara. Masih dengan nada ragu-ragu, "Kalau digugurkan saja... bagaimana...? Ini kan baru berumur... kurang lebih satu bulan...?"

Tersentak Zahra mendengarnya. Ditatap lekat-lekat wajah suaminya. Sungguh suatu hal yang sulit dipercaya. Tidak disangkanya gagasan seperti itu terucap dari mulut suaminya sendiri. Zahra tahu persis Ali adalah orang yang mengerti agama.

"Tidak! Seumur hidup takkan pernah kumaafkan diriku sendiri jika hal itu dilakukan. Apa pun yang terjadi…jika Tuhan memang menghendaki, maka janin ini akan tetap kupertahankan!" tegas Zahra penuh emosional. Bergidik ia tak sanggup membayangkan bagaimana janin yang terlindung aman di dalam rahimnya diambil paksa oleh tangan-tangan jahil dan tak berperasaan. Belum lagi rasa sakit yang harus ditanggungnya, juga rasa berdosa yang akan terus menderanya. Bahkan tidak hanya itu, nyawanya pun akan turut pula dipertaruhkan.

Perdebatan tidak berlanjut. Baik Ali maupun Zahra sama-sama memilih diam.

Lama mereka mendiamkan soal itu. Kira-kira sebulan sesudah perdebatan malam itu, tiba-tiba Ali menawari istrinya untuk berjalan-jalan sekeluarga. Kepada kedua anaknya dia berjanji akan membelikan mainan.

"Bagaimana Bu... nanti sore bisakah?" Ali meminta persetujuan istrinya.

"Jangan bicara sembarangan, Yah, nanti kalau anak-anak merengek betul gimana? Untuk membeli susu saja kadang nggak kesampaian, eh… kok malah menjanjikan membeli mainan?" Zahra mengingatkan, menyangsikan ajakan suaminya.

Namun, dengan wajah cerah dan tersenyum lebar Ali menunjukkan beberapa lembar uang seratus ribuan kepada istrinya. "Kalau tidak mau... ya, sudah...," dengan entengnya Ali berkata seraya menggoda.

Dan acara jalan-jalan pun menjadi kenyataan. Bahkan sejak itu menjadi kebiasaan. Rezeki sepertinya selalu datang setiap diundang. Susu untuk anak-anak tak pernah kehabisan. Bermacam-macam mainan selalu dapat Ali belikan. Belanja kebutuhan untuk Zahra juga tak ketinggalan. Susu khusus untuk ibu hamil selalu terbeli. Segala perlengkapan bayi sudah dapat dipersiapkan jauh-jauh hari. Sang suami tampak bangga dan bahagia melihat anak dan istrinya sehat dan gembira penuh suka cita.

Terbersit juga rasa penasaran dalam pikiran Zahra, dari mana Ali beroleh rezeki yang sepertinya selalu datang mengalir itu? Sempat diputuskannya untuk bertanya, tetapi diurungkan kembali niatnya, khawatir akan menyinggung perasaan suaminya.

Akhirnya, Zahra tidak terlalu banyak bertanya karena ia tetap yakin bahwa rezeki yang Ali dapatkan adalah halal jua. Siapa tahu Ali memang sedang beroleh order khusus yang berkaitan dengan profesinya sebagai penulis. Itu saja yang bisa Zahra tebak.

Atau, barangkali inikah hikmah dari kehamilan? Puji syukur dalam hati Zahra. Benarlah kiranya bahwa anak membawa rezeki masing-masing.

Roda waktu seakan diputar dengan cepat. Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan berganti. Tak terasa bayi dalam kandungan Zahra sudah genap usia, sembilan bulan. Dengan hati gembira disambutnya hari-hari menjelang kelahiran anaknya yang ketiga. Hari-hari yang dinanti penuh debar kebahagiaan.

Tepat dua per tiga malam Zahra terbangun. Rupanya anak yang ada di dalam kandungannya sudah meronta ingin segera melihat dunia.

"Ayah…Yah...," dengan hati-hati Zahra segera membangunkan suaminya, "sepertinya sudah waktunya...," lanjut Zahra sambil merintih menahan sakit akibat konstraksi di dalam perutnya.

Tanpa banyak bertanya Ali segera mempersiapkan diri, dan mereka pun bergegas berangkat ke klinik bersalin dengan terlebih dulu pamit kepada ibu sambil berpesan agar mengurus kedua cucunya jika mereka bangun nanti.

Baru sampai setengah perjalanan, Zahra merasa keheranan, menepuk pundak Ali.

"Lho, Yah... kenapa lewat sini? Kita ke klinik Bu Aisyah, seperti biasanya, kan?" tanya Zahra, mengingatkan.

"Tidak... Kali ini kita ke klinik lain, klinik Bu Ami. Di sana lebih bagus," jelas Ali menentramkan.

"Memangnya Ayah sudah pernah ke sana…?" selidik Zahra, masih penasaran.

"Sudahlah, kita lihat saja nanti," kata Ali memutus pembicaraan, tanpa menghiraukan keheranan istrinya.

Zahra akhirnya memilih untuk diam saja, mencoba percaya pada kata-kata suaminya, walau di hatinya masih tersimpan seribu tanda tanya. Di sisi lain dia sendiri juga disibukkan oleh rasa sakit yang melilit.

Sesampai di tempat, Zahra segera dibawa masuk kamar bersalin. Persalinan dilakukan oleh seorang bidan dibantu seorang perawat. Proses persalinan berjalan lancar dan cepat.

Tidak seperti biasanya, setelah tubuhnya dibersihkan dan pindah dari kamar bersalin, bayinya tidak diperlihatkan untuk dipeluk dan diajar menyusu dalam hangatnya dekapan kasih sayang seorang ibu. Hati Zahra bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi. Pikirannya mulai berkecamuk. Otaknya dipengaruhi oleh prasangka-prasangka buruk.

Akhirnya, karena rasa penasaran yang tak tertahankan lagi, ia menanyakan di mana bayinya. Ali memandang istrinya sebentar, lalu menunduk. Lama mereka terdiam, sampai akhirnya Ali menjawab dengan pelan.

"Sudah... diambil yang berhak...."

Dug. Jantung Zahra berdegup kencang. Panik. Ditatapnya mata Ali dalam-dalam, mencari kebenaran. Dinantinya kata-kata Ali lebih lanjut, walau ternyata sia-sia. Akhirnya, dengan terbata dan berurai air mata, Zahra hendak menegaskan, "Maksud Ayah... meninggal...?"

Tenggorokan Ali serasa tersekat. Hatinya pedih tersayat-sayat, tak tahan menyaksikan isak tangis dan duka-lara istrinya. Dipeluknya Zahra. Menetes airmata.

Tak sampai hati ia mengatakan peristiwa yang sesungguhnya, bahwa bayi tersebut telah dia jual, bahkan sejak masih dalam kandungan istrinya! ***

Orang Bernomor Punggung

Cerpen Azhari

Dua puluh satu kali ia sudah memalingkan wajahnya ke belakang. 21 kali pula ia lihat ada barisan raya yang mengejarnya. Dalam lari, dalam dengus nafas yang memberat ia merasakan barisan raya itu kian merapat, tinggal setombak, lalu sedepa, dengan semena menyentakkan ujung bajunya. Merebahkannya. Meringkusnya.

Ia terus berlari. Lewat lubang telinganya yang menyesak ia dengar raung yang menghasut. Lewat pincing matanya ia lihat puluhan anak panah, bukan puluhan, ratusan anak panah menyongsongnya dari belakang. Juga beliung, kapak, dan tombak. Ia bungkukkan badannya serupa babi menyuruk, ia berlari sambil menyujudkan badannya. Menghindari segala serbuan.

Ia berlari menyibak perdu, melompati sungai, menerabas segala rimba, menjauh dari barisan raya yang tambah menyungkup, tambah mendekat. Ia terus berlari.
* * *
Ia alit. Tapi badannya tegap. Pun hitam legam. Seluruh badannya dipenuhi bintik-bintik bekas terserang sesuatu yang kelak kita menamakannya sebagai cacar.

Ia datang ke kampung itu tiba-tiba. Ia datang seperti wabah yang tak hendak kembali. Ia ditemukan oleh para pencari rotan tersungkur di antara pematang tinggi yang mengapit dua ngarai. Ia sepertinya habis menaiki ngarai yang memang curam itu dengan susah-payah. Orang itu sekarat. Matanya yang tertutup bagai menyerapahi maut kenapa tak segera menghampirinya. Kalau kau sibak sedikit saja kelopak yang tertutup itu kau akan melihat ketakutan yang luar biasa di sana. Seluruh tubuhnya dicabik onak hutan.

Lalu para pencari rotan mengusungnya ke balai kampung. Orang kampung merawatnya. Menyembur seluruh tubuhnya dengan air sirih.

"Ia kepergok Pook," kata sang penyembur sirih. Pook adalah roh pemilik hutan. Para wanita yang menyaksikan kejadian itu menyungkup bayi-bayi mereka di kebusungan dadanya, mengucapkan lafaz penolak-bala agar bayi-bayi mereka tak terkena. Dan mereka meninggalkan tempat di mana orang itu dilentangkan --pada sebuah balai dari bambu-- sambil menggiring kanak-kanak.

Sebelas hari lamanya ia dalam perawatan. Sampai kemudian ia dinyatakan bugar kembali. "Wahai anak muda. Sekarang kau telah bugar. Kami telah menjalankan kewajiban menolong sesama manusia. Nah, sekarang kau boleh pergi," begitu kata tetua kampung setelah kesembuhannya.

Ia tak menjawab. Selama sebelas hari ia memang tak berbicara sepatah kata. Cuma mengangguk. Cuma menggeleng. Ia ketakutan luar biasa.
"Ia bisu!?" seru seseorang di tengah kerumunan. Ihwal sesuatu orang kampung memutuskannya di tempat terbuka dan diketahui khalayak.

"Tidak. Ia tidak bisu. Cuma ketakutan. Ia masih membayangi Pook," kata tetua kampung.

"Baiklah anak muda. Waktumu sebulan. Untuk sementara kau tinggal di rumahku. Setelahnya kau boleh pergi. Terserah. Atau kau mau menetap tinggal di kampung ini. Maksudku, tidak di dalam kampung. Di luar kampung kau boleh bangun rumah jauh dari pemukiman kami. Di batas kampung dengan hutan. Aku harus arif, banyak orang kampung masih gentar dengan kehadiranmu, mereka takut Pook mendatangi kediaman mereka karena mencium bau kau di tengah-tengah kampung. Dan itu tentunya menimbulkan masalah bagi mereka!" kata tetua kampung mengakhiri pertemuan itu.

Begitulah orang itu tidak pergi, tapi memilih membangun rumah di batas kampung dengan hutan. Ia membangun sebuah rumah kecil sendiri, dan menolak dengan halus ketika orang kampung ramai-ramai menawarkan tenaga mereka. Ia mengatakan bahwa selama ini orang kampung telah banyak menolongnya.

Berbilang tahun ia tinggal di gubuk kecil batas antara kampung dan hutan. Ia sudah beristri pula. Ia persunting seorang gadis kampung. Untuk menghidupi keluarganya ia menjadi pembelah kayu. Tiga hari sekali ia akan mengangkut kayu di dalam hutan. Menumpuknya di dekat perigi yang digalinya sendiri. Seminggu lamanya ia akan membelah gelondongan itu menjadi kayu-kayu kecil, disatukannya dalam ikatan-ikatan kecil sepelukan besarnya. Ia tidak membawanya ke pasar. Tapi orang-orang akan datang ke tempatnya untuk membelinya sebagai kayu bakar.

Nah, selagi ia membelah kayu, orang-orang yang datang membeli kayu bakar, tentu dilayani istrinya, dapat melihat tubuhnya yang kekal --ia tak memakai baju-- naik-turun mengikuti irama belahan. Sungguh bukan tubuh kekarnya yang menarik hati. Tapi sebuah rajah yang seperti terpahat di punggungnya --sedikit di bawah kuduk-- yang membuat orang-orang takjub. Rajah itu berbentuk 81. Sedalam setengah senti. Ia akan terkekeh kalau ada orang yang menanyakan perihal rajah itu (tapi sebenarnya ia tak dapat menyembunyikan ketakutan yang terkubur di kedalaman matanya setiap orang menanyakan ihwal itu). Maka dari itulah orang-orang menyebut dia sebagai si Bernomor Punggung. Atau Orang Bernomor Punggung.

Ia seorang yang lata. Keluarga si Bernomor Punggung nyaris tak memiliki persoalan tetek-bengek dengan para tetangga yang memang rumah mereka berjauhan. Bukan pula dia tak terlibat dengan pelbagai kegiatan di kampung. Banyak hal yang telah disumbangkannya kepada kampung. Awalnya orang kampung itu tak mengenal sumur. Karena kebiasaan mereka menciduk air yang melarung dari gunung membentuk batang sungai yang membelah kampung mereka. Jernih nian dan melimpah airnya. Tapi jika musim kemarau tiba batang sungai itu akan kering. Dan orang-orang kampung akan mengangkutnya naik-turun sepikulan bambu dari gunung yang berdepa-depa jauhnya. Diperkenalkannya sumur. Digalinya dalam-dalam tanah tandus itu sehingga air jernih menyembur. Diperkenalkannya pula timba dari pelepah pinang yang kedua sisinya dijahit dengan rotan.

Tak masalah pula jika ada seorang-dua yang tak membayar kayu bakar yang dibelahnya. Ia tak akan mengungkit-cungkilnya. Ia akan mengikhlaskannya. Tak menganggapnya sebagai piutang. Sungguh ia seorang yang lata. Dengan riang si Bernomor Punggung akan mengangkut kembali bergelondongan kayu karunia hutan, membelahnya sehingga menampakkan rajah 81 yang menceruk setengah senti di punggungnya, mengikat-ikatnya sepelukan besarnya.

Kanak-kanak berkarib baik dengannya. Kadang, jika musim buah-buahan hutan ia akan membawa serta beranting-ranting buah bersama gelondongan kayu. Dibagikannya kepada para karib kecilnya. Pun kanak-kanak itu dibuatkannya mainan dari sisa belahan yang terlampau bagus kalau sekadar dijadikan kayu pembakar. Kanak-kanak menyebutnya Pook yang baik. Ada beberapa kanak-kanak yang meminta kesediaannya agar diizinkan membenam jari kecil mereka di kedalaman rajah 81 di punggungnya. Dengan senang hati ia akan membungkukkan badannya dan kanak-kanak itu berbaris dengan tak sabar menunggu giliran. Ketika ada jari kecil yang melayari kedalaman rajah di punggungnya ia akan menggeliatkan badannya. Terbahak. Merasakan kegelian yang tak terperikan.

Dan orang-orang kampung masih saja tetap menganggap si Bernomor Punggung sebagai sesuatu yang didatangkan dengan tiba-tiba. Semacam Pook yang baik yang diturunkan khusus untuk membuatkan mereka perigi dan menyenangkan hati kanak-kanak mereka.

Tak jadi persoalan bagi si Bernomor Punggung orang-orang kampung ingin menganggapnya sebagai apa. Bukankah hidupnya sungguh bahagia? Apalagi tatkala ia mengetahui istrinya tengah mengandung. Aha, si Bernomor Punggung akan beroleh keturunan. Membuat si Bernomor Punggung semakin giat bekerja.

Hingga pada suatu masa. Beberapa orang kampung tersungkur. Bukan beberapa tapi semua orang kampung. Kecuali si Bernomor Punggung. Berhari-hari dalam panas dan gatal tak terperikan. Badan mereka dipenuhi bilur-bilur yang menggelembung. Meletup --menyembur cairan. Bilur-bilur yang tak terpulihkan dengan semburan sirih. Mereka terkena sejenis wabah yang kelak kita menamakannya cacar. Bukan wabah yang mengerikan memang. Si Bernomor Punggung tak mempan. Entah mengapa tak ada yang dapat menjelaskannya, juga si Bernomor Punggung. Orang-orang kampung takjub sekaligus kagum melihat si Bernomor Punggung tak apa-apa.

"Terang saja punggungnya berjimat."
"Ia Pook!"

"Siapkan pembakaran. Ia titisan wabah," perintah tetua kampung.
"Ia harus dibakar," seru yang lainnya.

Orang kampung bersegera menyiapkan upacara tolak bala. Si Bernomor Punggung harus dibakar hidup-hidup. Juga rumah dan isinya. Berat memang bagi orang kampung mengingat kebaikan hati si Bernomor Punggung, tapi adat harus dijalankan. Dengan itulah mereka berharap kampung dapat diselamatkan dari wabah.

Dan sungguh si Bernomor Punggung menerimanya dengan ikhlas. Ia tak mengerti kenapa ia harus dibakar. Sama seperti orang kampung tak mengerti kenapa ia tak terkena wabah, dan berajah 81. Dengan kapak di tangan, si Bernomor Punggung duduk di ruang tamu menunggu api yang berjilat-jilat membakar tubuhnya. Perihal rajah si Bernomor Punggung membawanya sampai ajal. Sampai daging tubuhnya berderik, tulang-tulangnya mengertap dipanggang api.

Prosesi banal itu dijalankan hampir malam. Masing-masing orang kampung memegang satu suluh, suluh dari buluh yang ujungnya disumpal dengan daun kelapa kering. Melingkar mengepung rumah. Sebuah suluh dilemparkan ke atap rumah pada pusingan pertama. Sebuah lagi pada pusingan kedua. Atap memerah. Diikuti dinding. Suluh-suluh dilemparkan pada pusingan berikutnya. Api mengerucut. Menderitkan kayu-kayu sanggaan yang patah. Orang-orang memberai dari lingkaran. Menanap dari jauh. Bayang api menari-nari di permukaan pipi setiap orang. Terdengar sayup isak istri si Bernomor Punggung dengan suluh di tangan yang urung dilemparkan. Seorang bocah memegang erat sebelah tangannya yang lain. Seorang bocah dengan manik mata memerah menyaksikan tumpukan api. Pun kanak-kanak lain dengan manik mata memerah menyaksikan liuk api.

21 kali ia dengar sayup isakan itu. Dalam api, dalam dengus yang memberat ia merasakan panas kian mendekat. Menyengat segala bulu dan kulit. Ia masih merasakan harum dagingnya yang terbakar. Ia merasakan ketakutan itu kembali. Ketakutan saat diburu barisan raya yang mengejarnya. Mengejar buron kerajaan dengan nomor punggung 81. Panas tambah menyungkup. Tambah merapat. ***

Azhari. Lahir 5 Oktober 1981 di pinggir Banda Aceh. Menulis esai dan cerita yang terhimpun di dalam lebih sepuluh antologi bersama, dan di koran-koran lokal dan nasional. Mengeditori beberapa buku. Cerpenis terbaik nasional 2003 (versi Depdiknas dan CWI). Mengurus Komunitas Tikar Pandan Banda Aceh, sebuah kantong budaya yang di dalamnya terdiri atas: kelompok diskusi (Metamorfosa Institut), ruang pertunjukan alternatif (Rumah Seni Titik Tolak), dan jurnal seni (Titik Tolak). Saat ini sedang menyelesaikan bab kedua novelnya: Pemberontakan Tujuh.

Jangan Main-Main dengan Perempuan!

Cerpen Lan Fang

Malam ini aku sungguh terkejut ketika melihat perempuanku berdiri di depanku. Ia bebas!
"Apa yang kau tulis? Apa kau menulis tentang perempuan lagi?" mendadak saja ia sudah mendelik di depanku.
"Kenapa?" tanyaku acuh tak acuh dengan rasa tidak senang.

Menurutku apa yang akan aku tulis adalah urusanku sendiri. Karena apa yang akan aku tuangkan dalam kata-kata adalah apa yang ada di dalam otak dan kepalaku! Jadi bukan wewenang perempuanku untuk melakukan intervensi terhadap apa yang akan aku tulis.

Jujur saja, aku tidak suka dengan kehadirannya di saat aku menulis. Ia selalu mengusikku dengan segala kenyinyirannya sehingga apa yang aku tulis tidak murni dari jari-jemariku sendiri.

Karena ketidaksukaanku itulah, maka ia kupasung selama lima tahun!
Lima tahun yang lalu, bibirnya yang indah kujahit, gigi geliginya kucabut, dan lidahnya kupotong. Lalu bibirnya yang indah itu, gigi geliginya, dan lidahnya, kusimpan di dalam toples yang berisi air keras. Kuawetkan di dalam toples itu! Tidak hanya itu! Kalau boleh aku meminjam istilah Agatha Christie ketika menggambarkan otak Hercule Poirot adalah "sel-sel kelabu"-nya dan semangatnya kukunci di dalam gudang gelap. Dan rongga matanya yang kerap kali mengeluarkan butir-butir air mata, aku cungkili lalu kubekukan di dalam frezer.

Sehingga dalam lima tahun terakhir ini, perempuanku tidak bisa berkata-kata, tidak mempunyai semangat karena sel-sel kelabu di kepalanya tidak berjalan normal, dan tidak bisa mengeluarkan air mata sama sekali! Ia benar-benar seperti robot. Ia tertawa tetapi tidak bisa menyeringai. Ia menangis tetapi tanpa air mata. Ia tubuh tanpa jiwa. Ia bergerak hanya berdasarkan perintahku ketika aku membutuhkannya untuk menyiapkan segelas kopi untukku. Seluruh roda hidupnya kubuat jalan di tempat.

Setiap hari perempuanku sibuk dengan dirinya sendiri. Ia sibuk mencari mulut yang memuat lidah, bibir, dan giginya, juga memunguti kristal-kristal air matanya di dalam frezer, atau merenda sel-sel kelabu di dalam kepalanya dan menyulam semangatnya yang hilang.

"Apa kau menulis tentang perempuan lagi?" suara perempuanku mengelegar kali ini.
Aku tengadah karena terkejut. Jari-jemariku berhenti menari di atas keyboard tuts-tuts laptopku. Dan aku terperanjat tidak kepalang tanggung ketika aku menyadari perempuanku berdiri di depanku dengan begitu perkasa! Jahitan di bibirnya sudah rentas. Gigi geliginya sudah menjadi taring semua. Dan…lidahnya berapi!

Astaga!
Aku larikan pandanganku ke toples berisi air keras di mana aku mengawetkan organ-organ mulut perempuanku. Semua masih lengkap di dalam toples itu…

"Bah! Kau kira kau bisa memasung mulutku untuk selamanya?" Ia bertanya dengan ketus.
Aku berlari ke gudang gelap di mana aku menyekap sel-sel kelabu otak dan semangatnya. Semua masih ada di tempatnya.

"Kau pikir aku tidak bisa mendapatkan sel-sel kelabu dan semangat baru?" Ia bertanya dengan nada mencemooh.
Aku berlari lagi membuka frezer. Kulihat butir-butir air matanya yang membeku masih menjadi stalagnit dan stalagtit di sana. Tidak ada yang berubah.

"Kau mau aku tidak bisa tertawa dan menangis untuk selamanya kan? Kau kira semudah itu?" Suaranya terdengar sampai di tempat aku berdiri.
"Lalu apa maumu?" kudengar nada suaraku setengah putus asa.

Aku berjalan gontai dengan bahu lesu kembali ke tempat dudukku. Aku merasa seperti ada sebuah bahaya laten yang mengancamku. Naluriku mengatakan bahwa perempuanku sekarang lebih berbahaya dibanding lima tahun lalu.

"Jangan main-main dengan perempuan!!!" jawabnya cepat dan tegas.
"Apa?!"

"Jangan main-main dengan perempuan!!!" Ia mengulangi kalimatnya.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu..."

"Baik. Sekarang giliranmu untuk duduk dan mendengarkan kata-kataku. Tutup laptopmu. Karena aku muak dengan semua tulisanmu yang gentayangan di dunia perempuan. Sekarang aku ingin kamu menulis tentang laki-laki!" perintahnya seperti seorang juragan.

Nah…nah…nah…, inilah salah satu alasan kenapa aku memasungnya lima tahun lalu. Ia benar-benar seperti seorang juragan, seorang boss, seorang atasan, seorang direktur, kalau sudah mengeluarkan kata-kata. Ia perempuan yang bisa membuat kebanyakan orang mengiyakan semua kata-katanya.

Tetapi, tidak aku!
Justru aku adalah orang yang membuatnya mati dari kata-kata. Memasungnya mati dari emosi. Membuatnya tidak peduli dengan dunia sekitarnya. Kusibukkan ia dengan mencari mulut, sel-sel kelabu, semangat, dan air matanya.

Perempuanku mengambil posisi duduk di depanku. Ia pandangi aku dengan matanya yang berapi. Lalu mulai bicara lagi dengan lidahnya yang berapi pula.

"Aku ingin kamu menulis tentang laki-laki!" Ia mengulangi kata-katanya.
"Aku tidak bisa..."

"Harus bisa!" potongnya cepat. "Sudah terlalu banyak dan sudah terlalu lama perempuan dipermainkan dari segala segi. Coba kamu lihat semua iklan di televisi, mulai makanan, sabun, elektronik, pakaian dalam, obat datang bulan sampai obat panu kadas dan kurap, semua memakai perempuan," ia mulai nyerocos dengan intonasi suara yang semakin lama semakin tinggi.

"Itu namanya perempuan mempunyai nilai jual karena indah dan menarik."
"Bah! Perempuan mempunyai nilai jual? Apa maksudnya perempuan itu menarik? Lalu dengan alasan menarik itu kalian, kaum laki-laki, dengan seenaknya saja mempelajari dan membedah perempuan bukan saja secara visual tetapi juga secara riil. Dokter-dokter kandungan mengobok-obok perempuan mulai dari labia mayora, labia minora, saluran falopii, uterus, bahkan menjadikannya kelinci percobaan untuk proses inseminasi, bayi tabung, bahkan mungkin program cloning di kemudian hari, dengan alasan kemajuan ilmu kedokteran."

"Itu namanya kodrat. Karena itu perempuan berharga..."
"Apa katamu?" Ia seperti harimau meradang.
Matanya semakin berapi. Lidahnya semakin membara.

"Perempuan berharga?! Kalau perempuan berharga kenapa undang-undang perkawinan hanya mengatur tentang poligami? Kenapa tidak mengatur tentang poliandri? Kenapa kalau perempuan tidak bisa memberikan keturunan bisa menjadikan alasan bagi laki-laki untuk kawin lagi? Bagaimana dengan laki-laki yang impoten, azospermia, ejakulasi dini, atau apa saja namanya..., bisakah dijadikan alasan buat perempuan kawin lagi? Di mana hukum perkawinan kita menempatkan bahwa perempuan itu berharga?"

"Ah…kau lebih baik menjadi aktivis perempuan dan ikut demo di bundaran Hotel Indonesia saja sambil membawa spanduk besar-besar membela hak asasi perempuan," aku mulai kalah omong.

Nah…nah…nah…, wajar kan kalau perempuanku kupasung lima tahun lalu? Memang semua yang dikatakannya benar dan masuk akal. Tetapi juga benar-benar membuat posisi laki-laki berbahaya.

"Kalian, kaum laki-laki, masih belum cukup puas dengan itu. Semua wartawan koran masih saja menulis tentang perempuan yang diperkosa dengan visum et repertum vagina sobek dan selaput dara rusak, lalu dibunuh, dipotong-potong dan dibuang. Kenapa tidak pernah ada berita seperti ini...hm..." Ia kelihatan berpikir sejenak. "Begini...: Telah ditemukan mayat seorang laki-laki di atas tempat tidur dalam keadaan telanjang dengan bagian-bagian tubuh terpotong-potong, kepala lepas dari tubuhnya, dan menggigit penis yang dijahitkan ke mulutnya sendiri. Bagaimana?"

Huek!
Tetapi perempuanku justru tertawa terkekeh-kekeh sampai air matanya meleleh.

Setelah lima tahun, baru kali ini aku melihat matanya mengeluarkan air mata lagi, bibirnya menyeringai tertawa, dan ada nada suara yang keluar dari labirin tenggorokannya.

Aku tidak tahu apa makna tertawanya. Ia sukakah? Gelikah? Getirkah? Atau mungkin aku terlalu lama memasung perempuanku sehingga aku sendiri tidak mengenal makna tertawanya dan tidak bisa membaca arti air matanya? Aku tidak kenal dengan perempuanku sendirikah?

Sehabis tertawanya yang cukup lama, ia menarik nafas panjang. Mengambil sebatang rokokku di atas meja, menyulutnya dengan lidahnya yang berapi. Ia memang tidak memerlukan korek api lagi karena lidahnya sudah berapi.

"Sekarang, kalian yang mengaku penulis, juga beramai-ramai menulis tentang perempuan. Kalian telanjangi perempuan di atas kertas sampai tidak ada ruang untuk sembunyi lagi untuk perempuan. Kalian geluti dan perkosa perempuan beramai-ramai dari visualnya, haknya, organnya, emosinya, air matanya, juga kelaminnya!"

"Ng… karena perempuan menarik. Ia marah menarik, ia tertawa menarik, ia menangis juga menarik, ia telanjang…apalagi. Menarik sekali!"
"Ya, kalian telanjangi perempuan habis-habisan."

"Karena menelanjangi perempuan itu nikmat."
"Kenapa tidak menelanjangi pemikirannya, ide-idenya, semangatnya, kekuatannya, atau telanjangi penderitaan dan rasa sakitnya?" kata-katanya seperti peluru keluar dari moncong senapan.

Sementara itu asap rokoknya mengepul sambung-menyambung seperti asap lokomotif kereta api.

Aku terdiam.
"Atau... karena kalian cuma main-main dengan perempuan..." Ia menutup kata-kata dengan nada sumbang.

Mungkin ya.
Mungkin?

Ya. Mungkin.
Perempuan memang obyek yang menarik untuk dijadikan mainan kata-kata, mainan imajinasi, mainan emosi, juga mainan inspirasi. Tetapi jika ternyata "permainan" dengan perempuan itu akhirnya menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan seperti yang dirasakan oleh perempuanku, aku masih tidak tahu harus meletakkan masalahnya di mana.

Apakah memang perempuan adalah obyek lemah yang mudah dipakai sebagai mainan? Atau memang perempuan justru obyek kuat yang menikmati dirinya ketika dipergunakan sebagai mainan? Apakah perempuan memang begitu menarik dan berharga dari segala segi sehingga menjadi komsumsi pasar, teknologi, sampai kepada para pujangga dan seniman? Atau sebaliknya, perempuan justru sangat rendah sehingga tidak mempunyai persamaan hak di dalam hukum dan seks?

Tetapi bagaimanapun perempuan, apakah ia kuat atau lemah, apakah ia berharga atau rendah, ternyata ia tetap menjadi "obyek". Karena begitu ia ingin mengganti posisinya menjadi "subyek", maka seperti aku, kaum laki-laki akan memasungnya. Karena sebagaimana yang kupikirkan, jika perempuan menjadi "subyek" maka ia akan membahayakan posisi laki-laki.

Karena ia adalah mahluk lemah sekaligus kuat, ia direndahkan tetapi dibutuhkan, ia tidak berarti apa-apa tetapi sangat berharga!
Tengah aku masih sibuk dengan debat kusirku sendiri, perempuanku mendekat dan berkata, "aku ingin bercinta denganmu malam ini…"

Ia hembuskan sebuah udara dari mulutnya yang merupakan campuran dari nafasnya yang wangi dan kepulan asap rokok. Begitu seksi dan menggoda. Tetapi aku lebih merasakan itu sebagai sebuah perintah daripada sebuah permintaan.

Aku gemetar.
"Tidak, aku tidak berani main-main dengan perempuan..." ***