“Mbak kenalin, ini Mutia …Mutia ini Mbak Rieka…”
Aku mendongak dari kertas kerjaku mendapati Ben adikku dan seorang gadis di sampingnya. Ia mengulurkan tangannya kepadaku.
“Hai,…aku Rieka, mudah mudahan Ben cerita yang baik baik saja tentang aku..”selorohku sambil mataku menyisir gadis itu dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Ben cerita tentang Mbak baik semua kok Mbak..” gadis itu menuai senyum.
Ben mengajak Mutia ke ruang keluarga meninggalkan kamar kerjaku setelah sedikit berbasa basi aku meneriakkan Surti menghidangkan minuman.
Melihat mereka keluar aku tersandar di kursi kerjaku. Tulisan yang sejak sejam lalu berusaha kurampungkan terabaikan.
Kuperhatikan punggung mereka berdekatan di depan TV di ruang keluarga. Kulit Ben yang putih bersih begitu kontras dengan Mutia, gadis itu. Menurut ku seperti iklan Benetton.
Aku berpikir apakah Ben sedang mabuk atau kena trauma di suatu tempat, sehingga belakangan ini ceritanya padaku melulu soal Mutia yang ditemuinya di kampus. Dalam bayanganku selama ini, gadis bernama Mutia itu..pastinya cantik, berkulit putih bersih, berambut lurus berkilau seperti iklan shampoo. Minimal tidak kurang cantik dengan mantan mantan Ben yang dulu ; Shirley yang wajahnya kerap muncul di cover majalah ,Mitha pramugari sebuah Maskapai nomor satu di Indonesia, Clara dan Susan, dua nama terakhir itu teman sekampusnya. Aku pernah sampai pusing menerima puluhan sms dari gadis gadis itu ,meratapi hubungannya dengan Ben yang kandas satu persatu.
Ben adikku memang berbeda. Wajahnya mewarisi wajah Papa. Hidungnya bangir, kulitnya bersih dengan garis laki laki yang membuatnya terlihat begitu jantan. Dia seperti pangeran pangeran tampan di komik komik jepang. Tubuhnya begitu atletis padahal ia tidak begitu rajin meluangkan waktunya untuk kebugaran. Berjalan dengan Ben di pertokoan terkadang membuatku risih juga, karena pastinya beberapa pasang mata akan menoleh kesekian kalinya pada Ben, bahkan para pencari bakat yang gemar duduk duduk di Mall untuk mencari bintang bintang baru kerap menyambangi kami. Ben Cuma tertawa dan bilang tidak.
Kini Ben kembali memperkenalkan seorang gadis yang dicintainya padaku. Apa yang kubayangkan tentang seorang Mutia buyar sudah. Yang dibawa Ben ke hadapanku bukan seorang gadis cantik berparas bak manekin di toko baju, tapi seorang gadis biasa. Sangat sangat biasa. Tidak semampai, rambutnya tidak terurai lurus berkilau tapi ikal dan tambah aneh dengan diikat bergelung, dan berkulit hitam.
“Mbak, kita mau pesan Pizza, Mbak mau apa?” tiba tiba Ben sudah di hadapanku lagi, berdiri dengan tubuhnya yang menjulang atletis. Adikku yang ganteng ini.
“Mbak…Mbak nggak kenapa kenapa kan?”
Aku berdehem mengusir halusinasiku barusan. Walaupun itu nyata bukan ilusi belaka.
“Ben, itu…Mutia yang itu ..kan?”
Alis mata Ben bertaut, kelihatan sekali ia bingung. Ia melirik ke arah ruang TV dimana Mutia-nya masih duduk manis di situ.
“Ya…iya…yang belakangan ini aku cerita ke Mbak…pacarku….kenapa sih..?”
“Ooh…ya nggak apa apa…”kataku sambil memusatkan pandangan ke laptop.
“Mbak pesenin salad saja,Ben…”
Ben berlalu lagi dari hadapanku. Aku menatap punggungnya gamang.
————–ooOOoo———————
Memangnya waktu itu kenapa putus dengan Ben?
Aku menekan tombol send pada ponselku. Dan gambar amplop terbang muncul di layar. Baru saja aku membalas sms dari Susan, pacar terakhir Ben sebelum Mutia. Susan masih uring uringan dan belakangan sering berbasa basi menelponku atau kirim sms sekedar ingin tau perkembangan mantan pacarnya, adikku. Aku selalu meladeni teman teman Ben dengan sabar, karena menurutku sebagai kakak aku harus bisa masuk ke ke hidupan adikku, aku harus bisa menjadi teman bagi Ben, menjadi kakak dan bahkan menjadi ibu. Karena kami Cuma tinggal berdua semenjak Papa dan mama meninggal tiga tahun lalu.
Ponsel ku mengeluarkan bunyi Bip Bip dua kali.
Ben naksir anak fakultas lain,semenjak kenal itu cewek sifatnya berubah drastic padaku,Mbak. Namanya Mutia. Sudah dikenalin,Mbak?
Hee…?? Ben bisa berpaling dari Susan yang wajahnya lebih cantik dari model iklan sabun di TV ..karena Mutia?
Aku meletakkan ponselku di sisi laptop. Menerawang ke luar jendela kantorku yang berada di lantai dua puluh.
Ada apa dengan adikku. Kenapa seleranya jadi drop begitu. Kalau dia akan bilang karena cinta aku akan berpaling muka menyembunyikan senyum sinisku. Aku tak percaya cinta bisa membuat buta mata.
Belum lagi, Ben harus berhadapan dengan keluarga besar kami. Aku tak mau membayangkan apa yang ada dalam kepala mereka jika suatu saat Ben ternyata serius dan memperkenalkan Mutia.
Sepertinya aku harus bicara dengan Ben. Mungkin Ben bisa memberikan alasan yang bisa membuatku mengerti tentang pilihannya.
“Ben,temenin Mbak ngopi yuk…”sapaku lewat ponsel.
Kami bertemu setengah jam kemudian di coffee shops lantai dasar kantorku.
“Ben, Mbak mau Tanya….kamu tuh beneran sama Mutia..?” aku mengaduk cappuccino ku tanpa memandang wajah adikku.
“Bener Mbak….nggak ada yang salah kan sama dia..?”
“Memang nggak ada yang salah sih Ben,..Cuma kok yang ini beda sekali sama pacar pacar kamu dulu….”
“Bedanya..?”
Aku meneguk minumanku. Apa yang ada dalam pikiran Ben saat ini. Dia bertanya bedanya padaku..??
“Hm…yaa secara..secara…penampilan begitu…”
“Fisik?”
“Yaa begitulah, tumben banget kamu pilih yang tipe ini….sampai bisa bikin kamu mutusin Susan?”
Ben terkekeh pelan. Wajah tampannya terlihat memerah sedikit. Tepatnya merona merah. Rasanya dulu waktu pun ia pacaran dengan si model Shirley dia tidak pernah merona rona merah seperti ini, persis ABG yang baru merasakan jatuh cinta.
“Susan nggak ada apa apanya dengan Mutia Mbak….dan yang minta putus itu Susan…bukan aku”
Aku hampir tersedak waktu Ben bilang Susan nggak ada apa apanya dibanding Mutia,sembari kuingat ingat apakah sebetulnya Ben mengatakan sebaliknya cuma aku salah dengar? Harusnya Mutia yang nggak ada apa apanya dibanding Suzan?
“Dalam hal apa Susan nggak ada apa apanya dibanding Mutia?”
Ben memandangku, rona merahnya sudah hilang. Kali ini yang menatapku adalah mata serius nya.
“Aku nggak bisa mendefinisikannya Mbak…semuanya dari hati sih….Pokoknya Mutia the best buat aku..susah ya dijelasin,Mbak..”
Dan sore itu berlalu tidak seperti yang kuharapkan. Tetap saja aku tidak mendapatkan jawaban yang logis. Kalau atas nama cinta aku tidak bisa menerima dalam pikiran sehatku.
Semenjak sore itu, Ben makin sering membawa Mutia ke rumah, dan semakin dalam ketidakpercayaanku akan apa yang di lihat Ben dari Mutia. Gadis itu pendiam pula, dengannya lebih banyak aku yang bertanya dan bicara. Dan dia hanya menjawab apa yang kutanyakan selebihnya hanya senyumnya mengembang.
Gadis itu pencinta alam, dia sudah mendaki Everest bersama tim pendaki kampusnya. Terlihat sih di tangan tangannya yang berurat. Dan kalau sedang digenggam oleh tangan Ben aku lebih baik tidak melihatnya. Terlalu kontras. Kadang terpikir untuk memberikan ide perawatan kulit buat Mutia pada Ben, misalnya ikut therapy memutihkan kulit, menghaluskan dan sebagainya. Tapi selalu urung kulontarkan.
Mutia terlihat sangat mencintai Ben. Pasti lah. Ben ganteng dan walaupun kami yatim piatu kami masih bisa hidup serba berkecukupan dengan peninggalan orang tua kami. Kami tak kurang suatu apapun.
Gadis itu terkadang datang sendiri, dan tidak selalu pada saat Ben ada di rumah. Misalnya sehabis mengajar anak anak jalanan di rumah singgah dia suka mampir ke rumah.
Seperti hari ini ketika aku sudah dua hari tidak bisa masuk kantor karena vertigo ku kumat. Maklum, bekerja kadang tak kenal waktu dan tidak cukup memanjakan tubuh dengan istrirahat.
Mutia datang dengan menenteng satu kotak donut. Pandanganku masih berputar putar ketika gadis itu menghampiriku di kamar.
“Mbak, makan yuk….” Katanya sambil menyentuh lenganku dengan telapak tangannya yang mungkin tidak pernah tersentuh hand body lotion.
Aku menggeleng,sejak tadi aku sibuk mencari posisi berbaring yang enak supaya mual dan peningku tidak menjadi jadi, “Nggak Mut….belom bisa makan…kamu dari mana?”
“Dari habis ngajar ,Mbak…Mbak ada obat yang harus diminum nggak, biar ku ambilkan?”
Aku menggeleng, dalam keadaan mata tertutup pun semua yg kurasakan berputar hebat.Isi perutku bergejolak ingin keluar.
“Mut…mbak mau…”
Hoeekkk !! Aku terlonjak kearah Mutia dan keluarlah isi perutku. Aku bisa melihat muntahku membasahi baju dan roknya.
Mutia membantuku duduk dan mengurut leherku lembut,”Keluarkan semuanya mbak, muntahkan saja, supaya lega…muntahakan saja Mbak!”
Aku masih muntah beberapa kali. Mutia menggapai minyak angin dan menggosokkannya ke leher dan kepalaku. Tubuhnya basah sudah. Oleh mutahku. Yang aku sendiri jijik, tapi ekspresi wajah gadis itu biasa saja. Tidak sedikitpun tersirat rasa jijik atau geli. Dengan sigapnya ia menggantikan bajuku dan mengelap bekas bekas muntahku dibantu Surti yang baru datang beberapa menit terakhir.
Aku merasakan kelegaan di kepala dan perutku.
“Mut..maaf kamu jadi kotor begitu…ambil saja baju Mbak..pakai dulu Mut…” ujarku.
Mutia masuk ke kamar mandi yang letaknya di dalam kamarku dan keluar dengan mengenakan baju rumah milikku. Wajah dan tubuhnya sudah bersih, dan dia kembali duduk di sisiku.
“Mut maaf ya jadi ngerepotin kamu…”aku merasa betul betul sungkan. Kalau aku jadi dia mungkin aku sudah ikut muntah muntah di tempat karena jijiknya.
“Ah Mbaak nggak apa apa kok…namanya juga sedang sakit. Mbak mesti isi perut tuh kan sudah keluar semua isinya…”
Aku menemukan sorot mata yang lembut di balik poninya yang tidak menarik itu, begitu lembut dan bening. Begitu tulus.
Ketika sore Ben pulang dari kampus dan bingung mendapatiku dan Mutia mengobrol akrab di kamarku dan Mutia dengan mengenakan bajuku.
Ada binar binar di mata adikku itu. Entah haru entah apapun. Dan rona merah itu menyemburat lagi.
Dan ketika Ben pamit untuk mengantar Mutia pulang aku mengiyakan dengan tulus. Kali ini betul betul tulus tanpa ada banyak pertanyaan di pikiranku. Aku merangkul Mutia. Entah kenapa aku ingin melakukan itu. Aku bisa merasakan aroma shampo samar samar dari rambutnya, yang kutahu pasti bukan shampoo mahal seperti yang kupakai.
Sekali lagi kuucapkan terimakasih yang tulus padanya. Mutia hanya tersenyum saja. Dan aku baru menyadari juga kalau senyum nya itu begitu biasa tapi penuh keihlasan.
————————oooOOooo—————-
Malamnya Ben pulang dari mengantar Mutia dan langsung kupanggil masuk ke kamarku.
“Ben…antar Mutia sampai rumah kan?”
Ben mengangguk,”Kenapa Mbak…”
“Mutia cerita nggak kejadian siang ini…”
Ben adikku memandangku dengan wajah bingung,”Cuma bilang Mbak pusing pusing dan muntah aja…”
Hmm…gadis itu bahkan tidak menceritakan betapa menjijikkannya mendapat hadiah muntahanku ke seluruh baju dan roknya.
“Ben…sekarang Mbak ngerti kenapa kamu mencintai Mutia….dia..memang beda…”
Adikku duduk di hadapanku dengan kening bertaut,”Mbak, sebetulnya Mutia belum bilang menerimaku…dia Cuma bilang jalanin aja dulu yang bisa kita jalani…nggak perlu mengumbar kata kata cinta atau apalah…”
Wow…!
Mungkin buat seorang gadis biasa seperti Mutia, kata kata cinta itu tidak perlu. Sementara perempuan lain di sekitar Ben sangat ingin mendengar kata itu keluar dari mulut Ben dan akan segera menganggukkan kepala.
Mungkin kata kata cinta justru membuat gadis itu jengah?
Sekarang aku mengerti apa yang ada dalam kepala adik laki lakiku. Dan memang ternyata Shirley atau Susan atau siapaun tidak ada apa apanya dibanding Mutia.
“Kamu jaga saja hubungan kamu Ben,…dia gadis yang baik..Kakak mengakui deh…” ujarku pelan,”soal fisik…hmm kulitnya itu…mungkin …bisa pakai braso atau apa gitu…supaya lebih cemerlang….buktinya..pajangan Mama yang menghitam saja bisa lebih bersih pakai braso…”
Ben memapahku ke tempat tidur seolah aku sedang sakit parah,”Mbak perlu istirahat banyak nih mbak…” ujarnya.
Ramuan Ajaib
Cerpen Anak : Retno Wi
Terdengar gelak tawa kakek dan neneknya. Tapi Yogi tidak ikut tertawa. Ia tetap serius. Dari balik pintu ia merekam semua percakapan kakek dan nenek. Telinganya didekatkan daun pintu, agar suara kakek dan nenek yang mulai tua terdengar jelas. Yogi benar-benar tidak ingin ada sepatah kata pun yang terlewat. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk. Tetapi kadang telinganya dipaksa untuk tegak keika suara kakek dan nenek tidak terdengar jelas.
Esok hari sepulang sekolah, teman-teman Yogi berkumpul dan bersiap ke rumah Mia.
“Gi! Ke mana? Nggak ikut ke rumah Mia?”
Yogi mengelus botaknya beberapa kali. Dengan santai ia melangkah dan bersiul-siul.
“Buat apa ke rumah Mia?” Tangannya berkacak pinggang memandang teman-temannya.
“Ya, belajar dong! Besok kan, ujian matematika. Banyakk rumus yang harus dihafal, lo!”
“Kalian saja yang belajar, aku tidak perlu melakukannya.”
“Kok bisa begitu?”
“Tentu bisa, karena aku telah mendapatkan resep mujarab dari kakekku.”
“Resep, apa sih?” Tanya Mia penasaran.
“Resep agar sukses ujian.”
“Alaa…ah, paling juga disuruh belajar.”
“Wah, kalian salah. Pokoknya ini rahasia!” jawab Yogi sambil mengerling genit.
“Dasar pelit! “ Mia mengomel sebal.
“Jangan-jangan kakeknya Yogi dukun.” Komentar Anton.
“Ha…ha…ha… dipanggil aja Mbah dukun.” Jaka tertawa terbahak-bahak.
“Jangan sembarangan, ya! Kita lihat saja besok.” Yogi pergi sambil menggerutu sepanjang jalan menuju rumah.
Malam telah tiba. Yogi segera mempersiapkan keperluannya. Catatan matematika, segelas air putih, sesendok gula dan sedikit garam. Dengan hati-hati tangannya membakar lembar demi lembar catatan matematikanya. Abu bakaran ditampung di piring palstik yang diambilnya dari dapur. Beberapa lembar catatannya terbakar. Dengan hati-hati tangan Yogi memasukkan abu ke dalam gelas sedikit demi sedikit.
“Yogi.. Sedang apa di kamar, Nak? Kok ada bau benda terbakar dari kamarmu.” Teriak Ibu dari ruang tengah.
Yogi terperanjat. Dia mendekat ke pintu, mengamati lubang kunci dengan seksama. Ia memastikan pintu kamarnya telah terkunci.
“Tidak apa-apa kok, Bu. Yogi hanya mempersiapkan untuk ujian besok.” Yogi pun melanjutkan pekerjaannya. Diaduknya larutan abu yang diberi gula dann garam dengan hati-hati. Ia tidak ingin orang lain mengetahui apa yang sedang dilakukannya di kamar.
“Huek..kk!” Yogi berlari ke jendela, memuntahkan isi mulutnya.
“Ternyata rasanya tidak enak. Bagaimana Kakek dulu meminumnya, ya?” di pandanginya air keruh yang mengisi setengah gelas. Yogi membayangkan dirinya akan menjadi bahan olok-olok teman-temannya jika tidak bisa mengerjakan ujian.
Dengan mata terpejam dia paksa meminumnya sekali lagi.
“Huek…kk!.. Huek..kkk!!”
“Yogi..” Tok..tok…tok.. Suara Ibu di depan pintu. “Ada apa,, Nak?”
Uhuk..kk! Uhuk…k! Yogi terbatuk-batuk.
“Yogi hanya kesedak, Bu.”
“Buka pintunya, Ibu buatkan susu hangat untukmu.” Yogi terkesiap. Segera ia sembunyikan gelas yang berisi ramuan ke dalam lemari buku. Dengan wajah dibuat setenang mungkin ia membukakan pintu untuk ibunya.
“Benar kamu tidak apa-apa?”
Yogi menggeleng. Ibu menaruh segelas susu di meja belajarnya. Yogi was-was, takut ibunya menemukan gelas yang disembunyikan.
“Kakek, di mana?”
“Ada di kamarnya. Kenapa?”
“Enggak, kok Yogi tidak mendengar suaranya.” Tak lama kemudian Ibu Yogi meninggalkan kamar. Yogi mengambil gelas yang disembunyikan di kolong tempat tidur. Diamatinya gelas itu lama-lama.
Kuteruskan, nggak ya? Tanya Yogi dalam hati. Yogi mengelus botaknya berkali-kali. Diambilnya sisa catatan yang belum dibakar. Begitu banyak rumus yang harus dihafalkan. Ah, daripada susah-susah menghafal, mending kuteruskan minum ramuannya.
Kali ini Yogi menyiapkan segelas air putih yang baru diambilnya dari ruang makan. Yogi mencoba meminum lagi ramuan ajaibnya.
“Huekk..k!! Huekk…k!!” Kembali Yogi mual. Dia segera berlari ke jendela dan memuntahkan ramuannya. Dengan cepat tangannya mengambil air putih dan meminumnya.
“Aku benar-benar tak dapat meminumnya.” Yogi mulai pasrah. Wajahnya agak pucat. Kepalanya pusing.
“Aha..! Bukankah kakek dulu juga merasa pusing dan mual? Artinya ramuan ini mulai bekerja.” Yogi sedikit gembira mengingat perkataan kakeknya. Ia pun memilih tidur dengan harapan besok pagi semua rumus yang diminumnya sudah melekat di kepalanya.
* * * *
Jam setengah tujuh pagi. Yogi masih tidur di kamarnya. Berkali-kali ibunya mengetuk pintu. Tapi tak ada jawaban. Dengan sedikit khawatir, tangan ibu Yogi mencoba menarik handel pintu.
Klek. Pintu terbuka. Rupanya Yogi lupa mengunci pintunya setelah mengambil air putih tadi malam. Ibu Yogi memegang keningnya. Panas. Rupanya Yogi demam.
Yogi membuka matanya dengan berat.
“Kamu sakit, Nak?”
“Kepalaku pusing, Bu. Aku juga kedinginan.”
“Kalau begitu, jangan masuk sekolah dulu. Istirahat di rumah saja.”
“Tapi hari ini Yogi ujian, Bu.”
“Nanti Ibu telepon ke sekolah, agar boleh mengikuti ujian susulan.”
Yogi hanya bisa pasrah.
“Ibu telepon ke gurumu, ya.” Yogi mengangguk. Sebelum ibunya keluar Yogi memanggil.
“Bu, tolong panggilkan Kakek, ya.” Ibu Yogi mengangguk dan pergi meninggalkan kamarnya. Tak lama kemudian Kakek telah muncul di depan pintu kamar Yogi.
“Aduh Yogi, mau ujian kok sakit.” Kakek mendekat dan duduk di tepi dipan. Kakek Yogi melihat isi kamar. Matanya langsung tertuju pada gelas yang berisi cairan gelap.
“Yogi minum, kopi?”
Kepala Yogi menggeleng.
Kakek melangkah mendekat meja dan mengangkat gelas. Diciumnya isi gelas denngan hati-hati.
“Kamu membuat rauan ini?”
Yogi mengangguk pelan.
“Siapa yang mengajari?” Tanya Kakek bingung.
Dengan wajah murung Yogi menjawab.
“Dua hari yang lalu aku mendengar Kakek sedang bercerita tentangramuan ajaib kepada nenek. Makanya aku mencobanya.”
“Ha..haa..Haa. Ooh.. itu rupanya penyebabnya. Makanya sekarang Yogi sakit.”
“Tapi Kakek dulu juga sakit kan setelah minum ramuan itu?”
“Ya. Kakek langsung sakit.”
“Dan Kakek jadi pintar matematika, kan?”
“Waduh! Pasti kau tidak mendengarkan dengan lengkap cerita kakek waktu itu. Setelah minum ramuan itu, kakek masih ikut ujian. Dan hasilnya, kakek dapat nilai tiga!.”
“Ha??! Tiga?” Yogi tidak percaya mendengarnya. “Lo, bukankah kakek pandai matematika?”
“Ya, karena setelah itu Kakek rajin belajar agar semua rumus matematika dapat melekat di kepala. Bukan dengan meminum rumus-rumus itu.”
Yogi semakin lunglai. Karena ia berharap dapat pandai matematika tanpa harus susah-susah belajar.
“Yogi ingin menghafal rumus-rumus matematika?”
“Tentu saja.”
“Kalau begitu,, salin semua rumus di bukumu. Lalu tempelkan rumus-rumus itu di dinding kamar, di kamar mandi, dan bawalah kemanapun kau pergi. Dan bacalah jika senggang. Kakek yakin kau akan dengan mudah menghafalnya.”
“Baiklah. Aku akan mencobanya.”
“Ingat, Yogi. Tidak ada jalan pintas untuk pintar. Semua harus dimulai dengan usaha dan kerja keras. Sekarang istirahat dulu.”
Yogi pun mengerti, kalau ingin pintar ia harus belajar, bukan dengan minum ramuan ajaib.
Terdengar gelak tawa kakek dan neneknya. Tapi Yogi tidak ikut tertawa. Ia tetap serius. Dari balik pintu ia merekam semua percakapan kakek dan nenek. Telinganya didekatkan daun pintu, agar suara kakek dan nenek yang mulai tua terdengar jelas. Yogi benar-benar tidak ingin ada sepatah kata pun yang terlewat. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk. Tetapi kadang telinganya dipaksa untuk tegak keika suara kakek dan nenek tidak terdengar jelas.
Esok hari sepulang sekolah, teman-teman Yogi berkumpul dan bersiap ke rumah Mia.
“Gi! Ke mana? Nggak ikut ke rumah Mia?”
Yogi mengelus botaknya beberapa kali. Dengan santai ia melangkah dan bersiul-siul.
“Buat apa ke rumah Mia?” Tangannya berkacak pinggang memandang teman-temannya.
“Ya, belajar dong! Besok kan, ujian matematika. Banyakk rumus yang harus dihafal, lo!”
“Kalian saja yang belajar, aku tidak perlu melakukannya.”
“Kok bisa begitu?”
“Tentu bisa, karena aku telah mendapatkan resep mujarab dari kakekku.”
“Resep, apa sih?” Tanya Mia penasaran.
“Resep agar sukses ujian.”
“Alaa…ah, paling juga disuruh belajar.”
“Wah, kalian salah. Pokoknya ini rahasia!” jawab Yogi sambil mengerling genit.
“Dasar pelit! “ Mia mengomel sebal.
“Jangan-jangan kakeknya Yogi dukun.” Komentar Anton.
“Ha…ha…ha… dipanggil aja Mbah dukun.” Jaka tertawa terbahak-bahak.
“Jangan sembarangan, ya! Kita lihat saja besok.” Yogi pergi sambil menggerutu sepanjang jalan menuju rumah.
Malam telah tiba. Yogi segera mempersiapkan keperluannya. Catatan matematika, segelas air putih, sesendok gula dan sedikit garam. Dengan hati-hati tangannya membakar lembar demi lembar catatan matematikanya. Abu bakaran ditampung di piring palstik yang diambilnya dari dapur. Beberapa lembar catatannya terbakar. Dengan hati-hati tangan Yogi memasukkan abu ke dalam gelas sedikit demi sedikit.
“Yogi.. Sedang apa di kamar, Nak? Kok ada bau benda terbakar dari kamarmu.” Teriak Ibu dari ruang tengah.
Yogi terperanjat. Dia mendekat ke pintu, mengamati lubang kunci dengan seksama. Ia memastikan pintu kamarnya telah terkunci.
“Tidak apa-apa kok, Bu. Yogi hanya mempersiapkan untuk ujian besok.” Yogi pun melanjutkan pekerjaannya. Diaduknya larutan abu yang diberi gula dann garam dengan hati-hati. Ia tidak ingin orang lain mengetahui apa yang sedang dilakukannya di kamar.
“Huek..kk!” Yogi berlari ke jendela, memuntahkan isi mulutnya.
“Ternyata rasanya tidak enak. Bagaimana Kakek dulu meminumnya, ya?” di pandanginya air keruh yang mengisi setengah gelas. Yogi membayangkan dirinya akan menjadi bahan olok-olok teman-temannya jika tidak bisa mengerjakan ujian.
Dengan mata terpejam dia paksa meminumnya sekali lagi.
“Huek…kk!.. Huek..kkk!!”
“Yogi..” Tok..tok…tok.. Suara Ibu di depan pintu. “Ada apa,, Nak?”
Uhuk..kk! Uhuk…k! Yogi terbatuk-batuk.
“Yogi hanya kesedak, Bu.”
“Buka pintunya, Ibu buatkan susu hangat untukmu.” Yogi terkesiap. Segera ia sembunyikan gelas yang berisi ramuan ke dalam lemari buku. Dengan wajah dibuat setenang mungkin ia membukakan pintu untuk ibunya.
“Benar kamu tidak apa-apa?”
Yogi menggeleng. Ibu menaruh segelas susu di meja belajarnya. Yogi was-was, takut ibunya menemukan gelas yang disembunyikan.
“Kakek, di mana?”
“Ada di kamarnya. Kenapa?”
“Enggak, kok Yogi tidak mendengar suaranya.” Tak lama kemudian Ibu Yogi meninggalkan kamar. Yogi mengambil gelas yang disembunyikan di kolong tempat tidur. Diamatinya gelas itu lama-lama.
Kuteruskan, nggak ya? Tanya Yogi dalam hati. Yogi mengelus botaknya berkali-kali. Diambilnya sisa catatan yang belum dibakar. Begitu banyak rumus yang harus dihafalkan. Ah, daripada susah-susah menghafal, mending kuteruskan minum ramuannya.
Kali ini Yogi menyiapkan segelas air putih yang baru diambilnya dari ruang makan. Yogi mencoba meminum lagi ramuan ajaibnya.
“Huekk..k!! Huekk…k!!” Kembali Yogi mual. Dia segera berlari ke jendela dan memuntahkan ramuannya. Dengan cepat tangannya mengambil air putih dan meminumnya.
“Aku benar-benar tak dapat meminumnya.” Yogi mulai pasrah. Wajahnya agak pucat. Kepalanya pusing.
“Aha..! Bukankah kakek dulu juga merasa pusing dan mual? Artinya ramuan ini mulai bekerja.” Yogi sedikit gembira mengingat perkataan kakeknya. Ia pun memilih tidur dengan harapan besok pagi semua rumus yang diminumnya sudah melekat di kepalanya.
* * * *
Jam setengah tujuh pagi. Yogi masih tidur di kamarnya. Berkali-kali ibunya mengetuk pintu. Tapi tak ada jawaban. Dengan sedikit khawatir, tangan ibu Yogi mencoba menarik handel pintu.
Klek. Pintu terbuka. Rupanya Yogi lupa mengunci pintunya setelah mengambil air putih tadi malam. Ibu Yogi memegang keningnya. Panas. Rupanya Yogi demam.
Yogi membuka matanya dengan berat.
“Kamu sakit, Nak?”
“Kepalaku pusing, Bu. Aku juga kedinginan.”
“Kalau begitu, jangan masuk sekolah dulu. Istirahat di rumah saja.”
“Tapi hari ini Yogi ujian, Bu.”
“Nanti Ibu telepon ke sekolah, agar boleh mengikuti ujian susulan.”
Yogi hanya bisa pasrah.
“Ibu telepon ke gurumu, ya.” Yogi mengangguk. Sebelum ibunya keluar Yogi memanggil.
“Bu, tolong panggilkan Kakek, ya.” Ibu Yogi mengangguk dan pergi meninggalkan kamarnya. Tak lama kemudian Kakek telah muncul di depan pintu kamar Yogi.
“Aduh Yogi, mau ujian kok sakit.” Kakek mendekat dan duduk di tepi dipan. Kakek Yogi melihat isi kamar. Matanya langsung tertuju pada gelas yang berisi cairan gelap.
“Yogi minum, kopi?”
Kepala Yogi menggeleng.
Kakek melangkah mendekat meja dan mengangkat gelas. Diciumnya isi gelas denngan hati-hati.
“Kamu membuat rauan ini?”
Yogi mengangguk pelan.
“Siapa yang mengajari?” Tanya Kakek bingung.
Dengan wajah murung Yogi menjawab.
“Dua hari yang lalu aku mendengar Kakek sedang bercerita tentangramuan ajaib kepada nenek. Makanya aku mencobanya.”
“Ha..haa..Haa. Ooh.. itu rupanya penyebabnya. Makanya sekarang Yogi sakit.”
“Tapi Kakek dulu juga sakit kan setelah minum ramuan itu?”
“Ya. Kakek langsung sakit.”
“Dan Kakek jadi pintar matematika, kan?”
“Waduh! Pasti kau tidak mendengarkan dengan lengkap cerita kakek waktu itu. Setelah minum ramuan itu, kakek masih ikut ujian. Dan hasilnya, kakek dapat nilai tiga!.”
“Ha??! Tiga?” Yogi tidak percaya mendengarnya. “Lo, bukankah kakek pandai matematika?”
“Ya, karena setelah itu Kakek rajin belajar agar semua rumus matematika dapat melekat di kepala. Bukan dengan meminum rumus-rumus itu.”
Yogi semakin lunglai. Karena ia berharap dapat pandai matematika tanpa harus susah-susah belajar.
“Yogi ingin menghafal rumus-rumus matematika?”
“Tentu saja.”
“Kalau begitu,, salin semua rumus di bukumu. Lalu tempelkan rumus-rumus itu di dinding kamar, di kamar mandi, dan bawalah kemanapun kau pergi. Dan bacalah jika senggang. Kakek yakin kau akan dengan mudah menghafalnya.”
“Baiklah. Aku akan mencobanya.”
“Ingat, Yogi. Tidak ada jalan pintas untuk pintar. Semua harus dimulai dengan usaha dan kerja keras. Sekarang istirahat dulu.”
Yogi pun mengerti, kalau ingin pintar ia harus belajar, bukan dengan minum ramuan ajaib.
Selembar Uang 5000
Anak dalam gendongan Sri belum diam. Semakin Sri berusaha menenangkannya, tangis anak itu semakin pecah. Sri mulai kuwalahan untuk membujuknya.
“Cup-cup, Nak. Sebentar lagi Bapak datang.” Bujuk Sri sambil menimang-nimang dalam gendongan.
“Mungkin dia lapar, Sri.”
“Mungkin iya, Mbak.”
“Tadi anakmu sudah makan belum ?”
“Belum.”
“Kalau begitu cepat kasih dia makan.”
Sri tersenyum. Menelan ludah yang terasa kian hambar di lidah yang sejak kemarin belum kemasukan makanan. Tawar dan getir adalah hiasan hidupnya.
“Kok malah senyam-senyum. Wong anak sedang rewel kok dibiarkan.”
“Anu, Mbak. Saya belum masak hari ini.” Jawab Sri dengan suara tercekat.
Kening Wati berlipat seketika. Matanya menatap jam dinding yang sedang bergerak menunju angka sepuluh.
“Sampai siang begini belum masak? Kenapa?”
“Ehm… “ Sri agak canggug meneruskan kalimatnya. “Beras kami habis.”
Wati mulai menangkap permasalahan Sri, yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri. Nasibnya dengan Sri tidak jauh berbeda. Hanya saja Wati belum dikaruniai anak meskipun telah menikah hampir lima tahun.
“Kalau habis, kenapa tidak beli Sri?” Pancing Wati.
“Sebenarnya pengen beli, Mbak. Tapi… kami sedang tidak punya uang.” Wajah Sri menunduk, menyembunyikan rasa sedih yang telah menjadi teman dalam kesehariannya. Sri tahu, tak ada gunanya berpura-pura di depan Wati. Wanita itu tahu persis bagaimana kehidupannya. Hanya saja Sri tidak enak hati kalau dengan keterusterangannya membuat Wati iba dan ikut bingung mencari jalan keluarnya. Bagaimanapun Sri juga menyadari kalau nasib Wati juga tidak lebih baik darinya. Mereka sama-sama perantau dari kampung yang ingin merubah nasib di kota seperti Surabaya. Hanya saja rumah petak mereka letaknya agak berjauhan.
“Kami menunggu Bapaknya Dian pulang.” Ucapnya lirih. Tangan kusamnya mengelus kening Dian, anak semata wayangnya yang telah tenang. Sebenarnya Sri tak yakin dengan ucapannya. Pekerjaan suaminya yang hanya penarik becak tidak bisa diharapkan setiap saat. Padahal tiap hari mereka harus memberi setoran kepada juragan becak. Sejak kemarin ia dan suaminya belum makan. Hanya minum air putih yang diberi sedikit gula. Segenggam beras yang tersisa dia buat bubur untuk anaknya. Dan hari ini Sri benar-benar tidak memliki apa-apa. Hanya beberapa sendok gula di toples. Sri dan suaminya memilih mengalah. Air gula yang ada mereka berikan untuk Dian.
“Sri.” Sapa Wati lembut. “Kamu tidak biasa hutang?”
Sri menggeleng lemah. Ia begitu memegang erat wejangan suaminya agar tidak membiasakan berhutang. Hutang hanyalah jerat yang bisa mencekik setiap saat. Apalagi tak ada yang bisa dijadikan jaminan untuk membayar jika si peminjam suatu saat datang menagih. Itulah prinsip yang ditekankan suaminya.
Wati trenyuh. Perasaan iba muncul tanpa bisa dicegahnya. Apalagi saat matanya menatap Dian yang telah pulas dalam gendongan Sri. Dian begitu pucat. Wajahnya tirus dengan perut yang agak membuncit. Kulitnya bersisik kasar karena kurang vitamin. Tanda-tanda kekurangan gizi tampak jelas di tubuhnya. Hening. Semua tenggelam dalam angan masing-masing.
“Aku ada uang lima ribu.” Wati menyodorkan selembar lima ribuan kepada Sri. “Pakailah.”
Sri terkejut. Ia pandangi wajah Wati dan uang yang berada di tangannya bergantian. Ia yakin tetangganya dari kampug itu juga sedang membutuhkan uang. Suami Wati baru saja sakit. Pasti belum bisa menarik becak seperti suaminya. Apalagi saat ia teringat dengan pesan suaminya.
“Jangan, Mbak. Pasti Mbak Wati juga membutuhkannya. Insyaalah saya masih bisa bertahan sampai bapaknya Dian pulang.”
“Aku percaya kalian masih bisa bertahan. Tapi bagaimana dengan Dian? Dia sudah begitu kurus. Dia bisa sakit Sri. Kalau sampai itu terjadi pasti biayanya akan lebih mahal. Aku yakin kamu juga tidak tahu kapan suamimu pulang.”
Sri mendesah. ibu mana yang tega anaknya sampai kekurangan gizi. Ia pun sebenarnya iba melihat nasib Dian. Ditatapnya wajah Dian yang begitu tenang. Sebutir cairan bening mengumpul memenuhi sudut-sudut matanya.
“Tapi kalau uang ini aku pinjam, bagaimana dengan Mbak Wati?”
“Tenang Sri. Aku biasa pinjam ke warung dekat rumah. Mas Darmin juga sudah sembuh. Insyaalah besok sudah bisa narik lagi.” Jawaban Wati tidak membuat Sri lega. Tapi Sri benar-benar tidak punya pilihan saat itu.
“Terimaksih, Mbak. Nanti kalau bapaknya Dian dapat uang pasti segera kukembalikan.”
“Ya sudah, cepet belanja. Aku pamit dulu. Nanti Mas Darmin bingung kalau aku tidak segera pulang.”
“Iya, iya Mbak. Sekali lagi terimaksih, Mbak.”
* * *
Derit roda sayup terdengar. Roda yang selalu berputar meyusuri setiap jengkal jalan hidupnya. Setiap deritnya selalu meberikan harapan bagi Sri dan Yanto. Harapan itulah yang membuat mereka sanggup bertahan hidup. Ia yakin nasibnya berjalan seperti roda. Kadang dibawah, namun suatu saat roda itu pasti akan bergerak ke atas. Meskipun putaran roda kehidupan itu dirasanya berjalan sangat lambat untuk bisa mencapai puncak.. Tapi roda itu tidak boleh berhenti. Harapan dan impian telah membuat roda itu tetap berputar. Bergerak. Menggelinding. Meski perlahan.
“Assalamualaikum.” Suara yang begitu dikenal muncul dari arah pintu triplek.
“Wa’alikum salam.” Sri segera menyambut dan mencium tangan si empunya suara.
Sri menatap wajah suaminya dengan mata berbinar. Yanto dibuat tak enak hati karenanya. Wajahnya pias melihat tatapan isrtinya.
“Maafkan aku, ya.” Suara Yanto tedengar berat. “Ternyata hari ini pun aku gagal mendapatkan uang lima ribu yang kujanjikan pagi tadi.” Wajahnya menunduk, takut melihat reaksi istri tercintanya.
Sri tak kaget. Ia sudah menduganya. Tangannya menggandeng tangan suaminya menuju ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat makan sekaligus ruang tidur.
“Mas yanto pasti capek dan lapar. Sekarang, Mas makan dulu.” Ajak Sri lembut sambil membuka tudung nasi..
Yanto terlonjak. Ia tak percaya melihat hidangan istimewa di depannya. Sebakul nasi putih yang megepul hangat, semangkuk sayur bayam dan beberapa potong tempe telah tersaji rapi di atas meja kayu yang kakinya telah lapuk.
“Dari mana semua makanan ini, Sri?” Tanya yanto dengan suara gagap.
“Sudahlah, Mas Yanto makan dulu. Dari kemarin sampeyan belum makan. Kalau sampe Mas Yanto sakit, kita semua akan semakin repot.” Tangan Sri telah menyendok nasi ke piring untuk Yanto. Dengan cekatan, Sri menambahkan sepotong tempe dan sesendok sayur di atasnya.
“Tapi semua ini dari mana, Sri?” Tanya Yanto sekali lagi.
“Saya akan cerita kalau Mas Yanto mau makan.”
Yanto menurut. Dengan ragu tangannya menyendok nasi dari piring. Setelah yakin suaminya menikmati makanannya, barulah Sri bercerita.
“Mas, tadi Mbak Wati sepulang mencuci dari Bu Handoyo mampir.” Sri diam sejenak. Melihat reaksi suaminya. Kemudian mengalirlah kisah hidupnya sepagi tadi sampai akhirnya semua hidangan istimewa dapat tersaji di meja makan mereka.
Uhuk!Uhuk!
Yanto tersedak. Buru-buru Sri menuangkan air putih ke gelas plastik yang di dekatnya.
“Pelan, Mas. Nggak usah buru-buru.”
Yanto diam. Menatap wajah istrinya dalam-dalam. Begitu banyak kalimat yang ingin ia ucapkan kepada istrinya. Tapi mulutnya tetap terkunci. Ia tidak pernah tega menyakiti wanita yang begitu rela menemaninya hidup menderita. Tapi Yanto sangat gusar mengingat kejadian yang dialaminya sebelum pulang ke rumah.Rasa nikmat yang baru didapatnya lenyap seketika. Menu istimewa yang ada di depannya tidak lagi menggoda selera makannya. Hambar. Itulah yang dirasakan lidahnya saat ini.
“Kenapa kamu mau menerima uang dari Mbak Wati?” Jelas terdengar suara Yanto begitu berat.
“Sebenarnya sudah kutolak, Mas. Tapi Mbak Wati memaksa. Ia tidak tega melihat Dian, anak kita. Aku juga tidak tega kalau sampai Dian jatuh sakit karena tidak makan apa-apa. Pasti nanti kita akan butuh uang lebih banyak untuk mengobati Dian. Akhirnya aku pun menerima uang lima ribu itu. Maafkan aku, Mas. Aku tahu Mas tidak suka hutang. Tapi kita sedang tidak punya pilihan.” Ada rasa bersalah dalam nada bicara Sri. Wajahnya menunduk. Ia pun tidak berselera untuk melanjutkan sarapan yang sekaligus juga makan siang.
“Sri, sebelum pulang aku tadi mampir menjenguk Mas Darmin.Tak kulihat makanan di rumahnya. Ia sedang menunggu Mbak Wati yang meminjam uang pada Bu Handoyo setelah mencuci.” Yanto diam sejenak. Mengatr nafas yang semakin tidak teratur. “Aku semakin tidak tega saat melihat Mbak Wati diomeli pemilik warung ketika akan berhutang lagi. Apa kamu tega makan semua ini, Sri?” Yanto berdiri. Tangannya menyambar topi lusuh yang tergeletak di kursi.
“Mas Yanto mau kemana?”
“Keluar. Mencari uang untuk mengganti uang Mbak Wati.” Yanto melangkah tanpa menoleh ke belakang.
Sri terpaku. Memandangi punggung suaminya yang basah oleh keringat. Ada perih di hatinya. Ada rasa bersalah yang begitu desak-mendesak dadanya. Sebutir bening telah menggantung di kedua sudut matanya.
Ia segera bergegas membungkus semua makannnya. Tak ada cara lain. Ia harus mengantarkan makanan itu untuk Wati.
“Mbak Wati, maafkan aku.” Ucap Sri hampir tak terdengar.
“Cup-cup, Nak. Sebentar lagi Bapak datang.” Bujuk Sri sambil menimang-nimang dalam gendongan.
“Mungkin dia lapar, Sri.”
“Mungkin iya, Mbak.”
“Tadi anakmu sudah makan belum ?”
“Belum.”
“Kalau begitu cepat kasih dia makan.”
Sri tersenyum. Menelan ludah yang terasa kian hambar di lidah yang sejak kemarin belum kemasukan makanan. Tawar dan getir adalah hiasan hidupnya.
“Kok malah senyam-senyum. Wong anak sedang rewel kok dibiarkan.”
“Anu, Mbak. Saya belum masak hari ini.” Jawab Sri dengan suara tercekat.
Kening Wati berlipat seketika. Matanya menatap jam dinding yang sedang bergerak menunju angka sepuluh.
“Sampai siang begini belum masak? Kenapa?”
“Ehm… “ Sri agak canggug meneruskan kalimatnya. “Beras kami habis.”
Wati mulai menangkap permasalahan Sri, yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri. Nasibnya dengan Sri tidak jauh berbeda. Hanya saja Wati belum dikaruniai anak meskipun telah menikah hampir lima tahun.
“Kalau habis, kenapa tidak beli Sri?” Pancing Wati.
“Sebenarnya pengen beli, Mbak. Tapi… kami sedang tidak punya uang.” Wajah Sri menunduk, menyembunyikan rasa sedih yang telah menjadi teman dalam kesehariannya. Sri tahu, tak ada gunanya berpura-pura di depan Wati. Wanita itu tahu persis bagaimana kehidupannya. Hanya saja Sri tidak enak hati kalau dengan keterusterangannya membuat Wati iba dan ikut bingung mencari jalan keluarnya. Bagaimanapun Sri juga menyadari kalau nasib Wati juga tidak lebih baik darinya. Mereka sama-sama perantau dari kampung yang ingin merubah nasib di kota seperti Surabaya. Hanya saja rumah petak mereka letaknya agak berjauhan.
“Kami menunggu Bapaknya Dian pulang.” Ucapnya lirih. Tangan kusamnya mengelus kening Dian, anak semata wayangnya yang telah tenang. Sebenarnya Sri tak yakin dengan ucapannya. Pekerjaan suaminya yang hanya penarik becak tidak bisa diharapkan setiap saat. Padahal tiap hari mereka harus memberi setoran kepada juragan becak. Sejak kemarin ia dan suaminya belum makan. Hanya minum air putih yang diberi sedikit gula. Segenggam beras yang tersisa dia buat bubur untuk anaknya. Dan hari ini Sri benar-benar tidak memliki apa-apa. Hanya beberapa sendok gula di toples. Sri dan suaminya memilih mengalah. Air gula yang ada mereka berikan untuk Dian.
“Sri.” Sapa Wati lembut. “Kamu tidak biasa hutang?”
Sri menggeleng lemah. Ia begitu memegang erat wejangan suaminya agar tidak membiasakan berhutang. Hutang hanyalah jerat yang bisa mencekik setiap saat. Apalagi tak ada yang bisa dijadikan jaminan untuk membayar jika si peminjam suatu saat datang menagih. Itulah prinsip yang ditekankan suaminya.
Wati trenyuh. Perasaan iba muncul tanpa bisa dicegahnya. Apalagi saat matanya menatap Dian yang telah pulas dalam gendongan Sri. Dian begitu pucat. Wajahnya tirus dengan perut yang agak membuncit. Kulitnya bersisik kasar karena kurang vitamin. Tanda-tanda kekurangan gizi tampak jelas di tubuhnya. Hening. Semua tenggelam dalam angan masing-masing.
“Aku ada uang lima ribu.” Wati menyodorkan selembar lima ribuan kepada Sri. “Pakailah.”
Sri terkejut. Ia pandangi wajah Wati dan uang yang berada di tangannya bergantian. Ia yakin tetangganya dari kampug itu juga sedang membutuhkan uang. Suami Wati baru saja sakit. Pasti belum bisa menarik becak seperti suaminya. Apalagi saat ia teringat dengan pesan suaminya.
“Jangan, Mbak. Pasti Mbak Wati juga membutuhkannya. Insyaalah saya masih bisa bertahan sampai bapaknya Dian pulang.”
“Aku percaya kalian masih bisa bertahan. Tapi bagaimana dengan Dian? Dia sudah begitu kurus. Dia bisa sakit Sri. Kalau sampai itu terjadi pasti biayanya akan lebih mahal. Aku yakin kamu juga tidak tahu kapan suamimu pulang.”
Sri mendesah. ibu mana yang tega anaknya sampai kekurangan gizi. Ia pun sebenarnya iba melihat nasib Dian. Ditatapnya wajah Dian yang begitu tenang. Sebutir cairan bening mengumpul memenuhi sudut-sudut matanya.
“Tapi kalau uang ini aku pinjam, bagaimana dengan Mbak Wati?”
“Tenang Sri. Aku biasa pinjam ke warung dekat rumah. Mas Darmin juga sudah sembuh. Insyaalah besok sudah bisa narik lagi.” Jawaban Wati tidak membuat Sri lega. Tapi Sri benar-benar tidak punya pilihan saat itu.
“Terimaksih, Mbak. Nanti kalau bapaknya Dian dapat uang pasti segera kukembalikan.”
“Ya sudah, cepet belanja. Aku pamit dulu. Nanti Mas Darmin bingung kalau aku tidak segera pulang.”
“Iya, iya Mbak. Sekali lagi terimaksih, Mbak.”
* * *
Derit roda sayup terdengar. Roda yang selalu berputar meyusuri setiap jengkal jalan hidupnya. Setiap deritnya selalu meberikan harapan bagi Sri dan Yanto. Harapan itulah yang membuat mereka sanggup bertahan hidup. Ia yakin nasibnya berjalan seperti roda. Kadang dibawah, namun suatu saat roda itu pasti akan bergerak ke atas. Meskipun putaran roda kehidupan itu dirasanya berjalan sangat lambat untuk bisa mencapai puncak.. Tapi roda itu tidak boleh berhenti. Harapan dan impian telah membuat roda itu tetap berputar. Bergerak. Menggelinding. Meski perlahan.
“Assalamualaikum.” Suara yang begitu dikenal muncul dari arah pintu triplek.
“Wa’alikum salam.” Sri segera menyambut dan mencium tangan si empunya suara.
Sri menatap wajah suaminya dengan mata berbinar. Yanto dibuat tak enak hati karenanya. Wajahnya pias melihat tatapan isrtinya.
“Maafkan aku, ya.” Suara Yanto tedengar berat. “Ternyata hari ini pun aku gagal mendapatkan uang lima ribu yang kujanjikan pagi tadi.” Wajahnya menunduk, takut melihat reaksi istri tercintanya.
Sri tak kaget. Ia sudah menduganya. Tangannya menggandeng tangan suaminya menuju ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat makan sekaligus ruang tidur.
“Mas yanto pasti capek dan lapar. Sekarang, Mas makan dulu.” Ajak Sri lembut sambil membuka tudung nasi..
Yanto terlonjak. Ia tak percaya melihat hidangan istimewa di depannya. Sebakul nasi putih yang megepul hangat, semangkuk sayur bayam dan beberapa potong tempe telah tersaji rapi di atas meja kayu yang kakinya telah lapuk.
“Dari mana semua makanan ini, Sri?” Tanya yanto dengan suara gagap.
“Sudahlah, Mas Yanto makan dulu. Dari kemarin sampeyan belum makan. Kalau sampe Mas Yanto sakit, kita semua akan semakin repot.” Tangan Sri telah menyendok nasi ke piring untuk Yanto. Dengan cekatan, Sri menambahkan sepotong tempe dan sesendok sayur di atasnya.
“Tapi semua ini dari mana, Sri?” Tanya Yanto sekali lagi.
“Saya akan cerita kalau Mas Yanto mau makan.”
Yanto menurut. Dengan ragu tangannya menyendok nasi dari piring. Setelah yakin suaminya menikmati makanannya, barulah Sri bercerita.
“Mas, tadi Mbak Wati sepulang mencuci dari Bu Handoyo mampir.” Sri diam sejenak. Melihat reaksi suaminya. Kemudian mengalirlah kisah hidupnya sepagi tadi sampai akhirnya semua hidangan istimewa dapat tersaji di meja makan mereka.
Uhuk!Uhuk!
Yanto tersedak. Buru-buru Sri menuangkan air putih ke gelas plastik yang di dekatnya.
“Pelan, Mas. Nggak usah buru-buru.”
Yanto diam. Menatap wajah istrinya dalam-dalam. Begitu banyak kalimat yang ingin ia ucapkan kepada istrinya. Tapi mulutnya tetap terkunci. Ia tidak pernah tega menyakiti wanita yang begitu rela menemaninya hidup menderita. Tapi Yanto sangat gusar mengingat kejadian yang dialaminya sebelum pulang ke rumah.Rasa nikmat yang baru didapatnya lenyap seketika. Menu istimewa yang ada di depannya tidak lagi menggoda selera makannya. Hambar. Itulah yang dirasakan lidahnya saat ini.
“Kenapa kamu mau menerima uang dari Mbak Wati?” Jelas terdengar suara Yanto begitu berat.
“Sebenarnya sudah kutolak, Mas. Tapi Mbak Wati memaksa. Ia tidak tega melihat Dian, anak kita. Aku juga tidak tega kalau sampai Dian jatuh sakit karena tidak makan apa-apa. Pasti nanti kita akan butuh uang lebih banyak untuk mengobati Dian. Akhirnya aku pun menerima uang lima ribu itu. Maafkan aku, Mas. Aku tahu Mas tidak suka hutang. Tapi kita sedang tidak punya pilihan.” Ada rasa bersalah dalam nada bicara Sri. Wajahnya menunduk. Ia pun tidak berselera untuk melanjutkan sarapan yang sekaligus juga makan siang.
“Sri, sebelum pulang aku tadi mampir menjenguk Mas Darmin.Tak kulihat makanan di rumahnya. Ia sedang menunggu Mbak Wati yang meminjam uang pada Bu Handoyo setelah mencuci.” Yanto diam sejenak. Mengatr nafas yang semakin tidak teratur. “Aku semakin tidak tega saat melihat Mbak Wati diomeli pemilik warung ketika akan berhutang lagi. Apa kamu tega makan semua ini, Sri?” Yanto berdiri. Tangannya menyambar topi lusuh yang tergeletak di kursi.
“Mas Yanto mau kemana?”
“Keluar. Mencari uang untuk mengganti uang Mbak Wati.” Yanto melangkah tanpa menoleh ke belakang.
Sri terpaku. Memandangi punggung suaminya yang basah oleh keringat. Ada perih di hatinya. Ada rasa bersalah yang begitu desak-mendesak dadanya. Sebutir bening telah menggantung di kedua sudut matanya.
Ia segera bergegas membungkus semua makannnya. Tak ada cara lain. Ia harus mengantarkan makanan itu untuk Wati.
“Mbak Wati, maafkan aku.” Ucap Sri hampir tak terdengar.
Balada Sebuah Tugas Statistik
[ Cerpen Deteksi Jawa Pos, Senin, 21 Juli 2008 ]
Oleh Retno Wi
Brakk!!…
Pintu terbuka dengan keras. Sepi. Tak ada siapa-siapa di dalam. Pasti, sebab, penghuni lain sibuk dengan aktivitas di tempat kerja masing-masing. Termasuk dia, kalau saja dia tidak teringat satu hal. Sungguh dia menyesal kenapa tidak menuruti nasihat orang-orang di sekitarnya. Ah, seandainya aku memasang alarm di ponselku. Seandainya aku menuliskan di papan. Seandainya aku…
Oh, mengapa aku mesti menjadi orang pelupa? Bukankah aku masih muda? Apa memang memori otakku terbatas? Aku ingat, otak punya memori yang sangat besar. Setidaknya, aku masih ingat beberapa hal yang aku lakukan di waktu kecil. Artinya, aku masih mampu merekam dengan baik kejadian 15 tahun lalu. Bukankah itu hebat. Tapi, mengapa aku lupa dengan semua tugas yang baru diberikan seminggu lalu? Orang bilang semua itu karena keteledoranku. Benarkah aku teledor?
Brak!!…
Nasib pintu kamar pun tak berbeda dengan pintu ruang depan. Terbuka dengan dorongan keras dan kasar, membuyarkan dialog yang berlangsung antara otak dan hatinya. Dengan napas memburu, tangannya mengobrak-abrik meja kayu penuh tumpukan kertas dan buku. Dia tak peduli dengan buku dan kertas yang barjatuhan akibat ulah kasarnya. Sesekali, matanya melirik jam di dinding kamar. Detik-detiknya terus berjalan, berputar mendorong menit demi menit terlewati. Detak jantungnya seolah ingin mengejar setiap detik yang terlewat cepat. Setiap detik yang selalu menambahkan butiran keringat di dahinya.
“Ah…! Akhirnya ketemu juga.” Desisnya sedikit lega. Sedikit, sebab, waktu yang dimiliki tidak banyak. Disekanya keringat yang semakin berkilat di kening untuk mengurangi kegugupan yang terlalu lama menemani. Dipandanginya tulisan di kertas yang sedang dipegangnya. Terbayang di kertas itu seorang dosen killer berkumis lebat dengan sorot mata tajam ingin menelannya bulat-bulat. Siapa yang mau berurusan dengan dia lagi? Mengumpulkan tugas tepat waktu saja masih mendapat omelan dan sanksi kalau penulisannya tidak sesuai dengan keinginannya. Apalagi kalau telat mengumpulkan? Dan, aku? Dani mencoba mengingat-ingat. Selalu telat mengumpulkan tugas. Alasannya pun bisa ditebak oleh semua orang. LUPA!
“Oh, Tuhan!” dia menepuk jidat dengan keras. Dia segera tersadar dengan masalah yang menerornya. “Bukankah semua jawaban ini ada di buku Statistika. Dan, bukuku… di mana bukuku??”
Dia empaskan pantatnya di kasur. Kedua tangan pucat itu meremas-remas rambutnya dengan kuat. “Sialan si Roni!” kutuknya kesal. Dengan gusar dia menekan keypad ponsel. Mulutnya mengerucut, dahinya berkerut. Mendengarkan nada ponsel yang hanya berbunyi tut..tut…, Dicobanya sekali lagi.
Tuu…ut. Tuu..ut. Tuu..ut. “Halo!? Eh, Dani. Ke mana pula kau, kok nggak nongol di kampus? Kita lagi…” Tak sempat suara di sebrang meneruskan kalimatnya.
“Heh! Mana buku statistiknya! Pinjem buku jangan ngawur dong! Masak yang punya belum ngerjain tugas, masih belom dibalikin. Aku tunggu di rumah sekarang! Bawa buku statistik itu!”
“Hei..! Hei..! Kapan pula aku pinjam bukumu, hah?! Melihatnya pun aku tak pernah!”
“Kapan kau bilang? Siapa yang merengek-rengek minggu lalu setelah kuliah statistik berakhir? Siapa? Emang kucing?!”
“Benar-benar payah kau Dan! Rupanya, kau semakin tua hingga penyakit lupamu kian parah. Ingat-ingatlah yang bener! Atau, jangan-jangan sudah saatnya kau masuk RSJ, biar sembuh. Ha ha ha… !” Klik! Sambungan diputus.
Dani memandingi ponselnya kesal. Dipencetnya sekali lagi nomor Roni.
Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang… Klik! Ponsel terlempar di atas bantal. Dia rebahkan badannya. Hatinya melemparkan ratusan kutukan untuk Roni. Dani duduk di tepi dipan. Menatap meja belajarnya yang tak pernah rapi. Kertas-kertas berserakan memenuhi meja. Buku-buku tak lagi berdiri tegak karena buku di bagian tengah deretan diambil Dani. Dia pun membiarkan buku-buku di sebelahnya ambruk. Sebagian buku itu tampak hampir tidur tertumpuk buku lain di sebelah kirinya. Pasti buku yang seharusnya mengisi dan menyangga buku di sebelah kiri sangat tebal. Oh! Bukankah buku paling tebal miliknya hanya satu! Ya, hanya satu! Dan….
Aha…! Aku ingat sekarang. Aku baru mengambilnya dua hari lalu. Yaitu, ketika akan mengerjakan tugas, namun gagal karena diminta Ayah untuk menemani ibu belanja. Lalu… Lalu… Aaahh! Kepalan tangannya meninju telapak tangan kiri dengan gemas.
Dani mencoba mengingat siluet kejadian demi kejadian. Buntu! Dia lupa di mana meletakkan buku statistiknya. Kembali dia menatap jam dinding. Tak ada pilihan. Aku harus mengerjakannya sekarang meski tanpa buku statistik itu.
Dengan gontai dia menuju meja belajar. Sedikit malas, tangannya mengumpulkan kertas yang memenuhi meja. Kertas-kertas terkumpul dan dipindahkan ke lantai pojok kamar. Dipandanginya meja yang kini bebas dari kertas. Ada perasaan nyaman. Namun, ada sesuatu yang dirasa masih kurang. Yah, mejanya belum bersih benar. Ada beberapa kertas yang terjepit antara tepi meja dengan dinding. Dani mencoba menarik beberapa kertas. Tapi, terasa sangat sulit. Dani menarik meja agar menjauh dari tembok.
Brak!!.. Sebuah benda terjatuh dengan berat. Kepala Dani melongok ke bawah meja. “Yess!!.. akhirnya kutemukan buruanku.”
****
Suasana kampus agak lengang dari biasanya. Begitu juga kantin. Dani menyeruput juice avokad yang menjadi kesukaan. Tak banyak anak berkeliaran. Ditatapnya jam yang tergantung di dinding kantin. Masih ada seperempat jam untuk menyegarkan hari dengan segelas juice dan semilir angin yang menerobos kantin pelan-pelan.
“Di sini rupanya kau, Dan.” Sebuah tepukan keras dirasakan pundak kanan Dani. Sebenarnya tanpa menoleh pun, Dani tahu siapa yang sedang berbicara. Siapa tak kenal logat batak yang medok itu?
“Lo sendiri?”
“Bah! Aku? Tentulah aku mau pulang. Buat apa panas-panas begini berlama-lama di kampus?”
Mulut Dani melepas sedotannya perlahan.
“Pulang?”
Laki- laki di depannya mengangguk mantap.
“Trus, tugas statitiskmu?”
“Tugas statistik?” Roni berpikir sejenak. Tak lama kemudian, meledaklah tawanya.
“Ha…ha…haaa…” Buru-buru mulutnya bungkam ketika beberapa pasang mata menatapnya. Atau, lebih tepat melotot ke arahnya.
“Dan…Dan… tahulah aku sekarang kenapa tak masuk kuliah kau tadi. Itu juga yang membuatmu marah-marah padaku, kan?” Roni mendekatkan wajahnya yang penuh jerawat batu ke wajah Dani. Kemudian, punggung tangannya ditempelkan ke kening Dani.
“Hmm… Rupanya, kau benar-benar harus ke RSJ,” ucapnya pelan. “Ingatanmu semakin payah.”
“Eh, apa-apaan lo? Aku bicara soal statistik, bukan masalah penyakit lupaku! Dasar bloon!”
“Ya, ya. Kau tunggu saja sampai mabok, takkan pernah Pak Naryo datang menemuimu.”
“Maksudnya?”
“Karena memang tugas statistik itu baru dikumpulkan minggu depan. Karena hari ini Pak Naryo masih di luar negeri. Bukankah itu yang disampaikan sebelum kuliah statistik berakhir minggu lalu. Begitu mudahnya kau melupakan itu teman?”
“Jadi?”
“Jadi, sebaiknya pergilah kau segera ke dokter jiwa. Ha…haa.. ha..”
Roni pun berlalu meninggalkan Dani bersama juice avokadnya.
Oleh Retno Wi
Brakk!!…
Pintu terbuka dengan keras. Sepi. Tak ada siapa-siapa di dalam. Pasti, sebab, penghuni lain sibuk dengan aktivitas di tempat kerja masing-masing. Termasuk dia, kalau saja dia tidak teringat satu hal. Sungguh dia menyesal kenapa tidak menuruti nasihat orang-orang di sekitarnya. Ah, seandainya aku memasang alarm di ponselku. Seandainya aku menuliskan di papan. Seandainya aku…
Oh, mengapa aku mesti menjadi orang pelupa? Bukankah aku masih muda? Apa memang memori otakku terbatas? Aku ingat, otak punya memori yang sangat besar. Setidaknya, aku masih ingat beberapa hal yang aku lakukan di waktu kecil. Artinya, aku masih mampu merekam dengan baik kejadian 15 tahun lalu. Bukankah itu hebat. Tapi, mengapa aku lupa dengan semua tugas yang baru diberikan seminggu lalu? Orang bilang semua itu karena keteledoranku. Benarkah aku teledor?
Brak!!…
Nasib pintu kamar pun tak berbeda dengan pintu ruang depan. Terbuka dengan dorongan keras dan kasar, membuyarkan dialog yang berlangsung antara otak dan hatinya. Dengan napas memburu, tangannya mengobrak-abrik meja kayu penuh tumpukan kertas dan buku. Dia tak peduli dengan buku dan kertas yang barjatuhan akibat ulah kasarnya. Sesekali, matanya melirik jam di dinding kamar. Detik-detiknya terus berjalan, berputar mendorong menit demi menit terlewati. Detak jantungnya seolah ingin mengejar setiap detik yang terlewat cepat. Setiap detik yang selalu menambahkan butiran keringat di dahinya.
“Ah…! Akhirnya ketemu juga.” Desisnya sedikit lega. Sedikit, sebab, waktu yang dimiliki tidak banyak. Disekanya keringat yang semakin berkilat di kening untuk mengurangi kegugupan yang terlalu lama menemani. Dipandanginya tulisan di kertas yang sedang dipegangnya. Terbayang di kertas itu seorang dosen killer berkumis lebat dengan sorot mata tajam ingin menelannya bulat-bulat. Siapa yang mau berurusan dengan dia lagi? Mengumpulkan tugas tepat waktu saja masih mendapat omelan dan sanksi kalau penulisannya tidak sesuai dengan keinginannya. Apalagi kalau telat mengumpulkan? Dan, aku? Dani mencoba mengingat-ingat. Selalu telat mengumpulkan tugas. Alasannya pun bisa ditebak oleh semua orang. LUPA!
“Oh, Tuhan!” dia menepuk jidat dengan keras. Dia segera tersadar dengan masalah yang menerornya. “Bukankah semua jawaban ini ada di buku Statistika. Dan, bukuku… di mana bukuku??”
Dia empaskan pantatnya di kasur. Kedua tangan pucat itu meremas-remas rambutnya dengan kuat. “Sialan si Roni!” kutuknya kesal. Dengan gusar dia menekan keypad ponsel. Mulutnya mengerucut, dahinya berkerut. Mendengarkan nada ponsel yang hanya berbunyi tut..tut…, Dicobanya sekali lagi.
Tuu…ut. Tuu..ut. Tuu..ut. “Halo!? Eh, Dani. Ke mana pula kau, kok nggak nongol di kampus? Kita lagi…” Tak sempat suara di sebrang meneruskan kalimatnya.
“Heh! Mana buku statistiknya! Pinjem buku jangan ngawur dong! Masak yang punya belum ngerjain tugas, masih belom dibalikin. Aku tunggu di rumah sekarang! Bawa buku statistik itu!”
“Hei..! Hei..! Kapan pula aku pinjam bukumu, hah?! Melihatnya pun aku tak pernah!”
“Kapan kau bilang? Siapa yang merengek-rengek minggu lalu setelah kuliah statistik berakhir? Siapa? Emang kucing?!”
“Benar-benar payah kau Dan! Rupanya, kau semakin tua hingga penyakit lupamu kian parah. Ingat-ingatlah yang bener! Atau, jangan-jangan sudah saatnya kau masuk RSJ, biar sembuh. Ha ha ha… !” Klik! Sambungan diputus.
Dani memandingi ponselnya kesal. Dipencetnya sekali lagi nomor Roni.
Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang… Klik! Ponsel terlempar di atas bantal. Dia rebahkan badannya. Hatinya melemparkan ratusan kutukan untuk Roni. Dani duduk di tepi dipan. Menatap meja belajarnya yang tak pernah rapi. Kertas-kertas berserakan memenuhi meja. Buku-buku tak lagi berdiri tegak karena buku di bagian tengah deretan diambil Dani. Dia pun membiarkan buku-buku di sebelahnya ambruk. Sebagian buku itu tampak hampir tidur tertumpuk buku lain di sebelah kirinya. Pasti buku yang seharusnya mengisi dan menyangga buku di sebelah kiri sangat tebal. Oh! Bukankah buku paling tebal miliknya hanya satu! Ya, hanya satu! Dan….
Aha…! Aku ingat sekarang. Aku baru mengambilnya dua hari lalu. Yaitu, ketika akan mengerjakan tugas, namun gagal karena diminta Ayah untuk menemani ibu belanja. Lalu… Lalu… Aaahh! Kepalan tangannya meninju telapak tangan kiri dengan gemas.
Dani mencoba mengingat siluet kejadian demi kejadian. Buntu! Dia lupa di mana meletakkan buku statistiknya. Kembali dia menatap jam dinding. Tak ada pilihan. Aku harus mengerjakannya sekarang meski tanpa buku statistik itu.
Dengan gontai dia menuju meja belajar. Sedikit malas, tangannya mengumpulkan kertas yang memenuhi meja. Kertas-kertas terkumpul dan dipindahkan ke lantai pojok kamar. Dipandanginya meja yang kini bebas dari kertas. Ada perasaan nyaman. Namun, ada sesuatu yang dirasa masih kurang. Yah, mejanya belum bersih benar. Ada beberapa kertas yang terjepit antara tepi meja dengan dinding. Dani mencoba menarik beberapa kertas. Tapi, terasa sangat sulit. Dani menarik meja agar menjauh dari tembok.
Brak!!.. Sebuah benda terjatuh dengan berat. Kepala Dani melongok ke bawah meja. “Yess!!.. akhirnya kutemukan buruanku.”
****
Suasana kampus agak lengang dari biasanya. Begitu juga kantin. Dani menyeruput juice avokad yang menjadi kesukaan. Tak banyak anak berkeliaran. Ditatapnya jam yang tergantung di dinding kantin. Masih ada seperempat jam untuk menyegarkan hari dengan segelas juice dan semilir angin yang menerobos kantin pelan-pelan.
“Di sini rupanya kau, Dan.” Sebuah tepukan keras dirasakan pundak kanan Dani. Sebenarnya tanpa menoleh pun, Dani tahu siapa yang sedang berbicara. Siapa tak kenal logat batak yang medok itu?
“Lo sendiri?”
“Bah! Aku? Tentulah aku mau pulang. Buat apa panas-panas begini berlama-lama di kampus?”
Mulut Dani melepas sedotannya perlahan.
“Pulang?”
Laki- laki di depannya mengangguk mantap.
“Trus, tugas statitiskmu?”
“Tugas statistik?” Roni berpikir sejenak. Tak lama kemudian, meledaklah tawanya.
“Ha…ha…haaa…” Buru-buru mulutnya bungkam ketika beberapa pasang mata menatapnya. Atau, lebih tepat melotot ke arahnya.
“Dan…Dan… tahulah aku sekarang kenapa tak masuk kuliah kau tadi. Itu juga yang membuatmu marah-marah padaku, kan?” Roni mendekatkan wajahnya yang penuh jerawat batu ke wajah Dani. Kemudian, punggung tangannya ditempelkan ke kening Dani.
“Hmm… Rupanya, kau benar-benar harus ke RSJ,” ucapnya pelan. “Ingatanmu semakin payah.”
“Eh, apa-apaan lo? Aku bicara soal statistik, bukan masalah penyakit lupaku! Dasar bloon!”
“Ya, ya. Kau tunggu saja sampai mabok, takkan pernah Pak Naryo datang menemuimu.”
“Maksudnya?”
“Karena memang tugas statistik itu baru dikumpulkan minggu depan. Karena hari ini Pak Naryo masih di luar negeri. Bukankah itu yang disampaikan sebelum kuliah statistik berakhir minggu lalu. Begitu mudahnya kau melupakan itu teman?”
“Jadi?”
“Jadi, sebaiknya pergilah kau segera ke dokter jiwa. Ha…haa.. ha..”
Roni pun berlalu meninggalkan Dani bersama juice avokadnya.
BUTIR KEGELISAHAN
Goresan Pena ; Gadis Intifadha
Tak bisa kupungkiri memang, beberapa hari ini aku terus mencoba menentramkan jiwa, menyelimuti kalbu yang mulai tertoreh. Menutupi kegelisahan yang aku sendiri tak memahaminya. Aku melangkah setapak, namun kalut itu masih ada. Kembali ku gelengkan kepala, berharap bayangan yang tak berwujud itu segera hilang meninggalkan diriku. Aku menjerit pelan " Pergilah, aku mohon..." . Terasa ruang ini begitu sempit. Padahal sebelumnya aku sangat mencintai ruang ini, disinilah tempatku menghilangkan jenuh hari-hariku, melepaskan gerutuan yang kudapat dijalanan. Kini, ia tak berarti apa-apa. Seolah ada tempat lain yang lebih nyaman bagiku, dan aku bisa tenang disana. Yup, jelas tempat itu memang ada, Firdaus Nya. Lantas, apa saat ini detik penantian itu sudah dekat? Rabb, hatiku memang gelisah, tapi aku tidak ingin mengahdapMu dalam kondisi seperti ini.
Jiwaku benar-benar carut marut. Aku duduk diatas kursi kesayanganku. Dimana aku melayang kedunia maya, disana aku terbang kemanapun yang aku inginkan, dan disana pula tempatku menoreh banyak cerita, menyampaikan pesan hati lewat tulisan untuk orang banyak. Kugoyangkan penaku perlahan. Tercoret tanpa arah. Tanpa makna. Namun, bagiku coretan itu begitu menyimpan makna. Sebegitukah keadaan hatiku saat ini? Fuih,,,aku tak menemukan ide untuk berpesta pora dengan kata-kata indah yang biasa ku tulis. Kemudian aku bangkit, berjalan kesana kemari. Seandainya sahabatku Rahmi ada disini seperti biasa menemani hari-hariku, pasti ia bingung dan linglung melihatku seperti ini. Tapi keberadaannya pasti bisa sedikit membantuku mengemban kegelisahan ini. Hari ini ia tiada, ia sedang birrul walidain mengunjungi orang tua tercinta di kampung halaman, dan aku tidak berhak melarangnya.
Kuhentikan langkah. Kumelihat kesekeliling. Ah, kenapa aku tidak mengaji saja. Akhirnya aku tersenyum indah, aku tahu apa yang akan aku lakukan saat ini. Segera aku beranjak ke kamar mandi ingin berwudhu, berusaha menentramkan kegalauan hati. Rabb, kesejukan ini sungguh bermakna. Pujian ku hantur syahdu untuk Nya. Kuraih Mushaf Merah marunku, yang selalu bisa membuat bibirku basah indah dengan menghayati tiap katanya. Kumulai dengan kalimat ta'awudz dan basmalah untuk memasuki dunia kalam Nya. Tetesan embun memenuhi ruang jiwaku, menyejukkan jiwaku yang sedang meronta galau. Terasa begitu indah. Air mataku mulai jatuh, bening itu jatuh begitu saja, tanpa paksaan, tanpa rekayasa. Semakin ku memperpanjang bacaan, semakin deras ia bercucuran, menandakan sebegitu beratnya beban hatiku saat ini. Allah aku begitu merindukanMu. Sungguh!!!
Bingung. Lagi-lagi aku seperti ini. Aku merasa dunia saat ini sungguh tidak bersahabat. Bagiku dunia tidak lagi ramah. Walaupun aku tak tahu kapan ia pernah ramah. Aku bosan, bosan melihat prioritas manusia yang selalu hanya memikirkan dunia. Walau aku tidak mungkin juga lari dari dunia. Walau aku masih saja larut dalam aktifitas manusiawi yang tak bermakna. Itulah sebabnya aku merasa bosan. Dunia. Wajah aneh penuh rasa. Ada kebahagiaan, kekejaman, kesadisan dan banyak lainnya yang tak bisa kusebutkan, lebih tepatnya tak ingin kusebutkan. Dunia. Ladang fatamorgana yang manusia tak bisa lari darinya. Memang, tak mungkin terhindar darinya. Sebab kasat mata yang terlihat hanya dunia saja. Ladang akhirat akan hadir setelah adanya perenungan.
Aku sepi. Aku tak mengerti apa aku benar-benar lelah menghadapi dunia ini. Aku kembali merenungi niat yang aku miliki. Apa ia begitu suci? Apa ia sudah lurus? Apa ia sudah layak untuk memperoleh janji FirdausNya? Atau apa ia hanya nafsu dunia saja? Hanya tuntutan yang belum mengenal arah. Entahlah...
" Dunia memang indah, lebih indah dari hayalan seorang putri raja dikala menanti sang pangeran. Ia kebahagiaan dan kesenangan. Sahabatku Rini, dunia itu hanya tipuan, keindahannya hanya sementara, ia tak menjanjikan apapun, walau kita sudah memperoleh kebahagiaan dari padanya, namun belum pasti bisa kita bawa hingga ke akhirat. Rin,,, sungguh aku begitu mencintai mu karena Allah, aku tahu kau seperti ini bukan karena ketidakpercayaanmu pada janji Allah, bahkan kau lebih tau tentang itu dari pada aku, kau sahabat yang luar biasa Rin, jangan kau biarkan dirimu kalut dalam kegalauan seperti ini. Jika memang kau lelah, berbuatlah satu hal yang bagimu itu lebih baik kau kerjakan saat ini sebab kau takut akan meninggalkan semuanya. Sahabatku,,,Aku tahu siapa dirimu, ambillah ia, dan kerjakanlah ia, jika itu adalah ahsanul amal bagimu. Jangan pedulikan bisikan-bisikan itu, itu hanya akan membuatmu ragu untuk melangkah. Sobat, aku percaya kau tidak akan salah pilih. Karena aku tahu berapa besarnya rasa cinta dalam hatimu untuk Sang Rabb. Rin, aku akan kembali dalam minggu ini, aku harap kau sabar menunggunya. Aku rindu mendengar celotehanmu, suara tawamu, dan pujianmu itu. Ahibbak fillah....."
Aku menangis tersedu. Allah, terima kasih Kau telah memberiku seorang sahabat yang begitu mengerti aku. Aku begitu mencintainya Rabb. Dia yang selalu membantuku menghapus butir kegelisahan hati, dan menguatkan kasihku pada Mu. Pesan itu begitu panjang, ia sahabatku rela mengirimkan pesan panjang itu lewat SMS yang pasti banyak menghabiskan layar. Namun, itu sangat bermakna bagiku. Hatiku yakin kini. Mantap pada keputusan yang akan aku lakukan untuk menghapus semua goyah kalbu ini. Aku khawatir, jika aku tak melakukannya, aku akan lebih parah dari ini.
Bismillah,,Rabb terimalah niat lurus ku ini. Tak ada lain yang kuinginkan selain ridha Mu saja. Sungguh hanya itu Allah.
Sujud takzim ku persembahkan untuk Nya. Kali ini aku merasa sujud ini begitu berkesan. Wahai dunia dengan segala perangkatmu, aku ingin sejenak melupakanmu, meninggalkan harapan dan bayangan serta nafsu yang selama ini melekat di dinding jiwaku. Tak ada janji apapun yang mengikatku, selain hanya janji dari Nya saja.
Kuhapus air mata ini. Kuharap tetesan ini menghapus khilaf yang aku lalui. Kini, hatiku mantap sudah, melangkah maju ke Darul Hufadz, tanah impianku selama ini. Moga saja Aku bisa menghilangkan Hubbud dunya yang ada dalam jasadku selama ini. Allah, aku datang untuk memelihara kalam Mu, seperti yang pernah dilakukan oleh para sahabat dulu. Faidza ‘azzamta fatawakkal ‘alalllah. Bismillah.
End at Monday,16 Juni 2008
Goresan Pena ; Gadis Intifadha
Tak bisa kupungkiri memang, beberapa hari ini aku terus mencoba menentramkan jiwa, menyelimuti kalbu yang mulai tertoreh. Menutupi kegelisahan yang aku sendiri tak memahaminya. Aku melangkah setapak, namun kalut itu masih ada. Kembali ku gelengkan kepala, berharap bayangan yang tak berwujud itu segera hilang meninggalkan diriku. Aku menjerit pelan " Pergilah, aku mohon..." . Terasa ruang ini begitu sempit. Padahal sebelumnya aku sangat mencintai ruang ini, disinilah tempatku menghilangkan jenuh hari-hariku, melepaskan gerutuan yang kudapat dijalanan. Kini, ia tak berarti apa-apa. Seolah ada tempat lain yang lebih nyaman bagiku, dan aku bisa tenang disana. Yup, jelas tempat itu memang ada, Firdaus Nya. Lantas, apa saat ini detik penantian itu sudah dekat? Rabb, hatiku memang gelisah, tapi aku tidak ingin mengahdapMu dalam kondisi seperti ini.
Jiwaku benar-benar carut marut. Aku duduk diatas kursi kesayanganku. Dimana aku melayang kedunia maya, disana aku terbang kemanapun yang aku inginkan, dan disana pula tempatku menoreh banyak cerita, menyampaikan pesan hati lewat tulisan untuk orang banyak. Kugoyangkan penaku perlahan. Tercoret tanpa arah. Tanpa makna. Namun, bagiku coretan itu begitu menyimpan makna. Sebegitukah keadaan hatiku saat ini? Fuih,,,aku tak menemukan ide untuk berpesta pora dengan kata-kata indah yang biasa ku tulis. Kemudian aku bangkit, berjalan kesana kemari. Seandainya sahabatku Rahmi ada disini seperti biasa menemani hari-hariku, pasti ia bingung dan linglung melihatku seperti ini. Tapi keberadaannya pasti bisa sedikit membantuku mengemban kegelisahan ini. Hari ini ia tiada, ia sedang birrul walidain mengunjungi orang tua tercinta di kampung halaman, dan aku tidak berhak melarangnya.
Kuhentikan langkah. Kumelihat kesekeliling. Ah, kenapa aku tidak mengaji saja. Akhirnya aku tersenyum indah, aku tahu apa yang akan aku lakukan saat ini. Segera aku beranjak ke kamar mandi ingin berwudhu, berusaha menentramkan kegalauan hati. Rabb, kesejukan ini sungguh bermakna. Pujian ku hantur syahdu untuk Nya. Kuraih Mushaf Merah marunku, yang selalu bisa membuat bibirku basah indah dengan menghayati tiap katanya. Kumulai dengan kalimat ta'awudz dan basmalah untuk memasuki dunia kalam Nya. Tetesan embun memenuhi ruang jiwaku, menyejukkan jiwaku yang sedang meronta galau. Terasa begitu indah. Air mataku mulai jatuh, bening itu jatuh begitu saja, tanpa paksaan, tanpa rekayasa. Semakin ku memperpanjang bacaan, semakin deras ia bercucuran, menandakan sebegitu beratnya beban hatiku saat ini. Allah aku begitu merindukanMu. Sungguh!!!
Bingung. Lagi-lagi aku seperti ini. Aku merasa dunia saat ini sungguh tidak bersahabat. Bagiku dunia tidak lagi ramah. Walaupun aku tak tahu kapan ia pernah ramah. Aku bosan, bosan melihat prioritas manusia yang selalu hanya memikirkan dunia. Walau aku tidak mungkin juga lari dari dunia. Walau aku masih saja larut dalam aktifitas manusiawi yang tak bermakna. Itulah sebabnya aku merasa bosan. Dunia. Wajah aneh penuh rasa. Ada kebahagiaan, kekejaman, kesadisan dan banyak lainnya yang tak bisa kusebutkan, lebih tepatnya tak ingin kusebutkan. Dunia. Ladang fatamorgana yang manusia tak bisa lari darinya. Memang, tak mungkin terhindar darinya. Sebab kasat mata yang terlihat hanya dunia saja. Ladang akhirat akan hadir setelah adanya perenungan.
Aku sepi. Aku tak mengerti apa aku benar-benar lelah menghadapi dunia ini. Aku kembali merenungi niat yang aku miliki. Apa ia begitu suci? Apa ia sudah lurus? Apa ia sudah layak untuk memperoleh janji FirdausNya? Atau apa ia hanya nafsu dunia saja? Hanya tuntutan yang belum mengenal arah. Entahlah...
" Dunia memang indah, lebih indah dari hayalan seorang putri raja dikala menanti sang pangeran. Ia kebahagiaan dan kesenangan. Sahabatku Rini, dunia itu hanya tipuan, keindahannya hanya sementara, ia tak menjanjikan apapun, walau kita sudah memperoleh kebahagiaan dari padanya, namun belum pasti bisa kita bawa hingga ke akhirat. Rin,,, sungguh aku begitu mencintai mu karena Allah, aku tahu kau seperti ini bukan karena ketidakpercayaanmu pada janji Allah, bahkan kau lebih tau tentang itu dari pada aku, kau sahabat yang luar biasa Rin, jangan kau biarkan dirimu kalut dalam kegalauan seperti ini. Jika memang kau lelah, berbuatlah satu hal yang bagimu itu lebih baik kau kerjakan saat ini sebab kau takut akan meninggalkan semuanya. Sahabatku,,,Aku tahu siapa dirimu, ambillah ia, dan kerjakanlah ia, jika itu adalah ahsanul amal bagimu. Jangan pedulikan bisikan-bisikan itu, itu hanya akan membuatmu ragu untuk melangkah. Sobat, aku percaya kau tidak akan salah pilih. Karena aku tahu berapa besarnya rasa cinta dalam hatimu untuk Sang Rabb. Rin, aku akan kembali dalam minggu ini, aku harap kau sabar menunggunya. Aku rindu mendengar celotehanmu, suara tawamu, dan pujianmu itu. Ahibbak fillah....."
Aku menangis tersedu. Allah, terima kasih Kau telah memberiku seorang sahabat yang begitu mengerti aku. Aku begitu mencintainya Rabb. Dia yang selalu membantuku menghapus butir kegelisahan hati, dan menguatkan kasihku pada Mu. Pesan itu begitu panjang, ia sahabatku rela mengirimkan pesan panjang itu lewat SMS yang pasti banyak menghabiskan layar. Namun, itu sangat bermakna bagiku. Hatiku yakin kini. Mantap pada keputusan yang akan aku lakukan untuk menghapus semua goyah kalbu ini. Aku khawatir, jika aku tak melakukannya, aku akan lebih parah dari ini.
Bismillah,,Rabb terimalah niat lurus ku ini. Tak ada lain yang kuinginkan selain ridha Mu saja. Sungguh hanya itu Allah.
Sujud takzim ku persembahkan untuk Nya. Kali ini aku merasa sujud ini begitu berkesan. Wahai dunia dengan segala perangkatmu, aku ingin sejenak melupakanmu, meninggalkan harapan dan bayangan serta nafsu yang selama ini melekat di dinding jiwaku. Tak ada janji apapun yang mengikatku, selain hanya janji dari Nya saja.
Kuhapus air mata ini. Kuharap tetesan ini menghapus khilaf yang aku lalui. Kini, hatiku mantap sudah, melangkah maju ke Darul Hufadz, tanah impianku selama ini. Moga saja Aku bisa menghilangkan Hubbud dunya yang ada dalam jasadku selama ini. Allah, aku datang untuk memelihara kalam Mu, seperti yang pernah dilakukan oleh para sahabat dulu. Faidza ‘azzamta fatawakkal ‘alalllah. Bismillah.
End at Monday,16 Juni 2008
Goresan Pena ; Gadis Intifadha
Langganan:
Postingan (Atom)