LELAKI YANG BERDIRI DI TENGAH JALAN

Pukul 22.00

Mamat masih duduk di kantin belakang rumah sakit sambil menikmati secangkir kopi pahit dan goreng pisang panas.
Dari radio Trasistor milik si empunya kantin terdengar lagu disco dangdut. Laki-laki tua berbadan tambun itu mengetukkan jari-jari tangannya di atas meja mengikuti ketukan-ketukan nada lagu yang memang menghentak.

“Nggak banyak kerjaan hari ini, pak?” tanya Rohmah, pemilik kantin, satu-satunya di rumah sakit yang besar tetapi kurang terawat itu.
“Nggak Mah. Mudah-mudahan malam ini aku bisa tidur nyenyak,” jawabnya sambil mencomot sebiji goreng pisang. Makanan rakyat yang dipotong tidak seberapa besar itu masuk sekaligus ke dalam mulutnya.
Belum selesai ia mengunyah, tiba-tiba didengarnya seseorang memanggil. “Pak, Pak Mamat..!”
Laki-laki itu langsung celingukan, mencari dari mana asal suara tadi. Di salah satu sudut yang agak gelap, tampak seorang laki-laki berpakaian serba putih sedang melambaikan tangan.
Mamat langsung menarik nafas panjang. “Sirna sudah tidu r malamku,” gumamnya.

Mamat dalam usia 50 tahun, adalah petugas pengantar jenazah di rumah sakit ini. Telah dihabiskannya lebih dari separuh umurnya untuk pekerjaan yang menurut anggapan sebagian besar orang menyeramkan .
“Kamu nggak salah, Mat?” tanya teman-temannya ketika ia menerima pekerjaan itu 27 tahun lalu.
“Memangnya kenapa?”
“Kamu tidak takut?”
“Tidak”
“Yang kamu bawa itu mayat!”
“Memangnya kenapa?”
Mamat muda memang dikenal sebagai laki-laki pemberani.
Konon katanya, Mamat mewarisi keberanian leluhurnya, panglima perang salah satu kerajaan di tanah Jawa.
Tiada satu kengerianpun yang bisa menyurutkan langkahnya.
“Leluhurku telah melewati seribu macam pertempuran. Dengan gagah berani menghadapi setiap musuh-musuhnya. Dia tak gentar meskipun ilmu musuhnya lebih tinggi dibanding ilmunya.
Dengan semangat membara mereka ia hadapi.
“ Leluhurku adalah satu diantara dua pendekar yang berhasil selamat saat berhadapan dengan Aryo penangsang”.
Maka ketika datang tawaran sebagai pengantar jenazah, tanpa pikir panjang dia menerimanya.
“Mayat adalah mayat, sesosok tubuh dingin yang terbujur kaku setelah ditinggal ruh. Tak ada yang perlu ditakutkan dari seonggok bangkai,”pikirnya.

“Pak Mamat! cepat sedikit, pak!”
Lamunan laki-laki itu langsung buyar.
Segera dia berdiri. Tak lupa sebentuk peci kumal teman dekatnya selama bertahun-tahun yang tadi ia lepas dan diubah fungsinya menjadi kipas, ditemplokkan lagi ke kepalanya yang sudah ditaburi uban.
“Mah…, utang dulu ya,”ujarnya sesaat sebelum berlalu.
Rohmah hanya tersenyum kecut. Dia sudah maklum. Setiap tanggung bulan, kebanyakan pegawai di rumah sakit ini memang selalu menghutanginya.
Tapi biasanya, hutang-hutang itu akan mereka bayar setelah gajian. Semuanya tepat waktu. Tepat janji meski pun tetap ada saja yang brengsek, mengubar tarsok.

***
Pukul 22.15
Mayat telah dinaikkan. Mamat melihat tubuh yang terbujur kaku di belakang melalui kaca spion. Besar betul mayat itu. Barangkali di balik bungkusan kain putih terdapat tubuh yang tambun, seperti tubuhnya.

Mamat menghela nafas panjang. Digeleng-gelengkan dia punya kepala. Dibacanya lagi tulisan yang tertera pada secarik kertas lusuh, lecek dan sudah berwarna kecoklatan yang diberikan oleh Tono, petugas kamar mayat yang memanggilnya tadi. Tertera sebuah alamat, jalan anu, nomor sekian.

Namun yang membuat Mamat gundah gulana adalah tulisan yang paling bawah. Dicetak dengan huruf besar-besar. Benar, dia tidak salah baca. Tulisannya memang benar, Sidikalang. Gila, malam-malam begini dia harus pergi ke kota kecil yang terletak di balik gunung.

Perjalanan ke Sidikalang bukanlah perjalanan menyenangkan. Selain memakan waktu berjam-jam, rutenya juga agak berat. Jalan turun naik, berbelok-belok dengan hutan dan jurang di kedua sisinya.
Pelan-pelan sebuah perasaan aneh mulai menyerangnya. Tiba-tiba kuduknya serasa berdiri. Apakah ini disebut perasaan takut? Akh…tidak! Aku tidak boleh takut, batin Mamat. Ini memalukan. Para eluhur akan menertawakanku.
Mamat sebisa mungkin berusaha membuang jauh-jauh rasa itu. Ia berusaha dengan keras meski pun pada sisi benaknya yang lain sekeping demi sekeping mulai terbayang wajah seorang lelaki yang hancur berantakan.
Kata-kata Tono tadi kembali terngiang di telinganya.
“Pemuda ini kecelakaan. Korban tabrak lari. Sepeda motor yang ia kendarai diserempet truk gandeng yang membawa peti kemas, ia terpental ke aspal dan terguling-guling sebelum akhirnya berhenti setelah kepalanya menghantam trotoar

***

Desa yang dituju ternyata masih jauh dan sedikit agak ke pelosok.
Mamat menyetir mobil pelan-pelan. Jalan kampung itu tidak hanya sempit dan tidak beraspal, tapi juga Tak ada secercah cahayapun. Beranda-beranda rumah juga gelap. Langit-langit juga hitam.
Tak ada bulan, tak ada bintang.Awan tebal bergulung-gulung, bergerak perlahan seperti berparade. Penerangan hanyalah sekelompok kunang-kunang kuning yang beterbangan terus berkelipan. Dari tape mobil terdengar alunan lagu pop tahun 70-an, dinyanyikan oleh entah siapa. Disampul kaset memang tertulis nama Engelbert Humperdick, tapi Mamat tahu pasti kalau suara yang kini mengalun dengan sedikit sumbang ini bukanlah suara penyanyi berambut indah tersebut. Kaset ini dibelinya di kaki lima. Sepuluh ribu tiga.

Malam semakin sunyi dan dingin.Mamat sudah menutup jendela rapat-rapat, tapi tetap saja kedua lututnya bergetar. Gigi-giginya juga mulai bergemerutuk. Dengan sebelah tangannya Mamat membuka laci mobil dan meraih jaket tebal yang ia simpan di sana.
Cepat dikenakannya jaket itu. Nah, sekarang sedikit terasa lebih hangat. Sekali-kali Mamat melihat orang lewat.Semuanya berbaju kaus, bersarung yang diselempangkan di bahu, bercelana pendek dan tanpa alas kaki. Apakah mereka tak merasakan seperti yang aku rasakan?

Satu jam kemudian, sampailah ia ke rumah duka. Terlihat beberapa orang bangkit dari duduknya dan langsung menghampiri mobil jenazah. Pak Mamat keluar dari mobil.
“Saya dari Medan. Benar ini rumah keluarga Merah Surbakti?”
Orang-orang itu mengangguk. Mamat membuka pintu belakang dan mayat itupun segera diangkat.
Tangis pecah. Orang-orang yang menunggu di dalam meratap dengan bahasa yang Mamat tidak mengerti.
Perpisahan adalah kesedihan. Kesedihan adalah tangis.
“Anak ini adalah harapan keluarga,”ujar seseorang. “Begitu ya?”
“Ya, dia baru saja lulus sarjana. Bapak tahu, di kampung ini yang menjadi sarjana belum banyak. Jadi tidaklah mengherankan kalau orang tuanya bangga bukan main.
“Mereka mengadakan pesta besar-besaran ketika itu. Seluruh orang kampung diundang”.Dan kebanggaan tadi semakin berlipat-lipat setelah dalam waktu yang tidak terlalu lama, anak ini berhasil mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan di Medan.
“Dimana itu tepatnya.., ha…di Belawan.”Tiga hari yang lalu dia pergi untuk keperluan…, apa ya namanya?”Wawancara?”.
“Ya ya, wawancara”

***

Pukul 2.44
Mamat merasakan sepi semakin membekap.
Dia tidak mengerti kenapa. Toh sekarang dan tadi tidak ada bedanya.
Tadi suasananya juga sepi. Jalanan sepi. Kendaraan melintas satu-satu.
Di dalam mobil pun dia hanya ditemani sesosok mayat yang terbujur kaku.
Tapi mengapa sekarang perasaannya jadi seperti ini? Mamat seperti merasakan ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya.
Kaset yang sontoloyo tadi diputar lagi, dengan volume yang lebih keras.
“Terdengar suara yang berat. Mamat melihat sampul kaset. Dalam keremangan, terbacanya tulisan Nat King Cole.Nat King Cole? Tidak salah? Kalau saja suara Nat sebuntet ini, adalah sangat mustahil. the aulum leaves” bisa mendunia dan dinyanyikan dengan penghayatan yang begitu mendalam oleh ribuan penyanyi di kolong jagat.
Tapi Mamat tidak mau berpusing-pusing kenapa orang merekam lagu yang payah itu mencatut nama seorang legenda jazz pula.
Peduli amat. Mamat bukan seorang pengamat musik. Dia hanya seorang pengantar mayat. Dan dia kini kesepian, juga mengantuk.
Mamat ikut menyanyikan lagu itu. Ia menyanyi keras-keras.
Gerimis turun. Mobil membelok pelan di tikungan tajam di kawasan Bandar Baru. Mamat berusaha untuk tetap berkonsentrasi.
Jalanan justru lebih licin oleh hujan yang tidak turun berderai-derai.

Tiba-tiba, agak jauh di depan, di tengah badan jalan menurun, samar-samar Mamat melihat sesosok tubuh.
Deg, jantungnya seperti terpukul. Rampok! Mamat mengurangi laju mobilnya. Dia telah bersiap siaga. Mamat sudah sering mendengar bahwa di kawasan ini memang sering terjadi perampokan.
Mobil-mobilnya dibawa lari. Tapi apalah yang bisa diharapkan dari sebuah mobil ambulance?

Gerimis berubah menjadi hujan. Butir-butirnya yang besar menghantam kaca jendela mobil, memperdengarkan suara tok-tok-tok yang keras. Jalanan yang telah sepenuhnya basah membiaskan pendar-pendar kuning dari sorot lampu. Sosok tubuh itu melambai. Mamat menajamkan penglihatannya. Tangan itu hanya melambai. Tak terlihat pisau. Tak terlihat pistol.
“Mau apa orang ini?”pikir Mamat.
Diberhentikannya mobil tepat di depan sosok tubuh itu, yang ternyata seorang laki-laki yang masih sangat muda.
“Boleh numpang, Pak? Saya kehujanan”.
Mamat merasa lehernya seperti bergerak sendiri. Dia mengangguk dan laki-laki itu
langsung masuk.Jok seketika basah kuyup.
Di jalan, mereka hanya diam membisu.
Sesekali Mamat melirik laki-laki itu. Wajahnya pias, putih seperti kapas. Tubuhnya yang tambun tampak gemetaran.
“Mau pakai jaket,? tanya Mamat.
Laki-laki muda itu menggeleng tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Sungguh misterius.
Mobil terus melaju. Hujan perlahan mulai reda. Tapi halilintar masih ada. Langit yang gelap sebentar-sebentar menyala.
“Adik ini mau ke mana?” tanya Mamat.
Laki-laki muda itu lagi-lagi menggeleng.
“Ke tempat yang jauh sekali”.
Mamat sebenarnya tidak mengerti akan maksud dari kata-kata tersebut.
Tapi dia mengangguk saja. Laki-laki muda itu sorot matanya kosong.
Dia memang menatap lurus ke depan, seperti melihat sesuatu dengan seksama, namun mata itu kosong, benar-benar kosong.
“Pak, panggil laki-laki itu tiba-tiba.
“Saya mau turun di depan sana”.
Walau heran, Mamat menghentikan juga mobilnya. Ditebarnya pandangan ke luar.
Tidak ada rumah. Tidak ada juga jalan yang barangkali saja menuju ke sebuah kampung. Di luar hanya ada hutan. Hanya ada bayang-bayang pepohonan yang hitam kekar seperti sosok-sosok raksasa dalam kisah wayang purwa.
“Saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena bapak sudah mau mengantarkan saya sampai sejauh ini,”ujarnya.
Mamat bertambah heran. Bukankah dia baru saja naik? Paling cuma baru beberapa ratus meter saja. Lantas kenapa laki-laki ini mengatakan bahwa dia sudah diantarkan sampai jauh sekali?

“Ah adik bisa saja. Adikkan baru saja naik,”jawab Mamat sembaritersenyum.
“Tidak, pak. Bapak sudah mengantarkan saya sejak tadi”.
Mamat mulai merasakan ada sesuatu yang aneh terjadi di sini. Bulu kuduknya tanpa ia sadari berdiri. Mamat masih terheran-heran.
Sesaat laki-laki itu melambaikan tangannya sambil berteriak, terimakasih, pak.
““Terimakasih atas tiga jam perjalanan yang menyenangkan.
Saya suka Engelbert Humperdick, dia idola saya”.
Laki-laki itu berjalan menjauh.
Mamat duduk terpaku. Diantara suara gerimis yang perlahan-lahan kembali menjadi hujan, samar-samar didengarnya alunan sebuah lagu.
Oh…please realese me Let me go
(Sudah dimuat di Majalah D&R Medan )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar