Persahabatan Sunyi

cerita pendek Harris Effendi Thahar
DI sebuah jembatan penyeberangan tak beratap, matahari menantang garang di langit Jakarta yang berselimut karbon dioksida. Orang-orang melintas dalam gegas bersimbah peluh diliputi lautan udara bermuatan asap knalpot. Lelaki setengah umur itu masih duduk di situ, bersandarkan pagar pipa-pipa besi, persis di tengah jembatan. Menekurkan kepala yang dibungkus topi pandan kumal serta tubuh dibalut busana serba dekil, tenggorok di atas lembaran kardus bekas air kemasan. Di depannya sebuah kaleng peot, nyaris kosong dari uang receh logam pecahan terkecil yang masih berlaku. Dan, di bawah jembatan, mengalir kendaraan bermotor dengan derasnya jika di persimpangan tak jauh dari jembatan itu berlampu hijau. Sebaliknya, arus lalu lintas itu mendadak sontak berdesakan bagai segerombolan domba yang terkejut oleh auman macan, ketika lampu tiba-tiba berwarna merah.
Lelaki setengah umur yang kelihatan cukup sehat itu akan "tutup praktik" ketika matahari mulai tergelincir ke Barat. Turun dengan langkah pasti menuju lekukan sungai hitam di pinggir jalan, mendapatkan gerobak dorong kecil beroda besi seukuran asbak. Dari dalam gerobak yang penuh dengan buntelan dan tas-tas berwarna seragam dengan dekil tubuhnya, ia mencari-cari botol plastik yang berisi air entah diambil dari mana, lalu meminumnya. Setelah itu ia bersiul beberapa kali. Seekor anjing betina kurus berwarna hitam muncul, mengendus-endus dan menggoyang-goyangkan ekornya. Ia siap berangkat, mendorong gerobak kecilnya melawan arus kendaraan, di pinggir kanan jalan. Anjing kurus itu melompat ke atas gerobak, tidur bagai anak balita yang merasa tenteram di dodong ayahnya.
Melintasi pangkalan parkir truk yang berjejer memenuhi trotoar, para pejalan kaki terpaksa melintas di atas aspal dengan perasaan waswas menghindari kendaraan yang melaju. Lelaki itu lewat begitu saja mendorong gerobak bermuatan anjing dan buntelan-buntelan kumal miliknya sambil mencari-cari puntung rokok yang masih berapi di pinggir jalan itu, lalu mengisapnya dengan santai. Orang-orang menghindarinya sambil menutup hidung ketika berpapasan di bagian jalan tanpa tersisa secuil pun pedestrian karena telah dicuri truk-truk itu.
Lelaki setengah umur itu memarkir gerobak kecilnya di bawah pokok akasia tak jauh setelah membelok ke kanan tanpa membangunkan anjing betina hitam kurus yang terlelap di atas buntelan-buntelan dalam gerobak itu. Ia menepi ke pinggir sungai yang penuh sampah plastik, lalu kencing begitu saja. Ia tersentak kaget ketika mendengar anjingnya terkaing. Seorang bocah perempuan ingusan yang memegang krincingan dari kumpulan tutup botol minuman telah melempari anjing itu. Lelaki itu berkacak pinggang, menatap bocah perempuan ingusan itu dengan tajam. Bocah perempuan ingusan itu balas menantang sambil juga berkacak pinggang. Anjing betina hitam kurus itu mengendus-endus di belakang tuannya, seperti minta pembelaan.
Lelaki itu kembali mendorong gerobak kecilnya dengan bunyi kricit- kricit roda besi kekurangan gemuk. Anjing betina kurus berwarna hitam itu kembali melompat ke atas gerobak, bergelung dalam posisi semula. Bocah perempuan yang memegang krincingan itu mengikuti dari belakang dalam jarak sepuluh meteran. Bayangan jalan layang tol dalam kota, melindungi tiga makhluk itu dari sengatan matahari. Sementara lalu lintas semakin padat, udara semakin pepat berdebu.
Tiba-tiba, lelaki setengah umur itu membelokkan gerobak kecilnya ke sebuah rumah makan yang sedang padat pengunjung. Dari jauh, seorang satpam mengacung-acungkan pentungannya tinggi-tinggi. Lelaki itu seperti tidak memedulikannya, terus saja mendorong hingga ke lapangan parkir sempit penuh mobil di depan restoran itu. Sepasang orang muda yang baru saja parkir hendak makan, kembali menutup pintu mobilnya sambil menutup hidung ketika lelaki itu menyorongkan gerobaknya ke dekat mobil sedan hitam itu. Seorang pelayan rumah makan itu berlari tergopoh- gopoh keluar, menyerahkan sekantong plastik makanan pada laki-laki itu sambil menghardik.
"Cepat pergi!"
LELAKI setengah umur itu menghentikan gerobak kecilnya di depan sebuah halte bus kota. Mengeluarkan beberapa koin untuk ditukarkan dengan beberapa batang rokok yang dijual oleh seorang penghuni tetap halte itu dengan gerobak jualannya. Orang-orang yang berdiri di dekat gerobak rokok itu menghindar tanpa peduli. Halte itu senantiasa ramai karena tak jauh dari situ ada satu jalur pintu keluar jalan tol yang menukik dan selalu sesak oleh mobil-mobil yang hendak keluar. Lelaki itu meneruskan perjalanannya menuju kolong penurunan jalan layang tol itu. Meski berpagar besi, telah lama ada bagian yang sengaja dibolongi oleh penghuni-penghuni kolong jalan layang itu untuk dijadikan pintu masuk. Tempat lelaki setengah umur itu di pojok yang rada gelap dan terlindung dari hujan dan panas. Dari dulu tempatnya di situ, tak ada yang berani mengusik. Kecuali beberapa kali ia diangkut oleh pasukan tramtib kota, lalu kemudian dilepas dan kembali lagi ke situ. Ia lalu membongkar isi gerobaknya, mengeluarkan lipatan kardus dan mengaturnya menjadi tikar. Anjing betina berwarna hitam kurus itu mengibas-ngibaskan ekornya ketika lelaki itu mengambil sebuah piring plastik dari dalam buntelan, lalu membagi makanan yang didapatnya dari rumah makan tadi. Keduanya makan dengan lahap tanpa menoleh kanan-kiri.
Bocah perempuan ingusan itu berdiri dari jauh di bawah kolong jalan layang itu, memandang dengan rasa lapar yang menyodok pada dua makhluk yang sedang asyik menikmati makan siang itu. Ia memberanikan dirinya menuju kedua makhluk itu, lalu bergabung makan dengan anjing betina berwarna hitam kurus itu. Ternyata anjing betina itu penakut. Ia menghindar dan makanan yang tinggal sedikit itu sepenuhnya dikuasai bocah perempuan itu dan ia melahapnya. Sedang lelaki setengah umur itu tidak peduli, meneruskan makannya hingga licin tandas dari daun pisang dan kertas coklat pembungkus. Mengeluarkan sebuah botol air kemasan berisi air, meminumnya separuh. Tanpa bicara apa- apa, bocah perempuan ingusan itu menyambar botol itu dan meminumnya juga hingga tandas. Lelaki setengah umur itu hanya memandang, sedikit terkejut, tapi tidak bicara apa-apa. Air mukanya tawar saja. Mengeluarkan rokok dan membakarnya sambil bersandar pada gerobak kecilnya. Tergeletak tidur setelah itu di atas bentangan kardus kumal.
MALAM telah larut. Bocah perempuan ingusan itu terbirit-birit dikejar gerimis yang mulai menghujan. Rambutnya yang nyaris gimbal itu kini melekat lurus-lurus di kulit kepalanya disiram gerimis. Bunyi krincingan dan kresek-kresek kantong plastik yang dibawanya membangunkan anjing betina kurus berwarna hitam itu. Ia menyalak sedikit, kemudian merungus setelah dilempari sepotong kue oleh bocah itu. Lewat penerangan jalan, samar- samar dilihatnya lekaki setengah umur itu tidur bergulung bagai angka lima di atas kardus. Setelah melahap kue, anjing itu kembali tidur di sebelah tuannya, di atas bentangan kardus yang tersisa.
Bocah itu mengeluarkan lilin dan korek api dari dalam kantong plastik. Berkali-kali menggoreskan korek api, padam lagi oleh tiupan angin bertempias. Lalu ia mendekat ke arah lelaki setengah umur itu agar lebih terlindung oleh angin dan berhasil menyalakan lilin. Bocah itu melihat ujung lipatan kardus tersembul dari dalam gerobak kecil di atas kepala lelaki setengah umur itu. Ia berusaha menariknya keluar tanpa menimbulkan suara berisik dan membangunkan lelaki itu. Setelah berhasil, ia membaringkan dirinya yang setengah menggigil karena pakaiannya basah. Merapat pada tubuh lelaki yang memunggunginya itu, sekadar mendapatkan imbasan panas dari tubuh lelaki itu.
Bocah perempuan ingusan itu cepat terlelap dan bermimpi berperahu bersama anjing betina kurus berwarna hitam itu di sebuah danau yang sunyi. Deru mesin mobil yang melintasi jembatan beton di atas mereka justru menimbulkan rasa tenteram, rasa hidup di sebuah kota yang sibuk. Lelaki setengah umur itu juga sedang bermimpi tidur dengan seorang perempuan. Ketika ia membalikkan badannya, ia menangkap erat-erat tubuh bocah yang setengah basah itu dan melanjutkan mimpinya.
Sebelumnya, kolong penurunan jalan layang tol itu cukup padat penghuninya di malam hari. Beberapa anak jalanan yang sehari- hari mengamen di sepanjang jalan bawah, juga bermalam di situ. Ada lima anak jalanan laki-laki yang selalu menjahili bocah perempuan yang selalu membawa krincingan itu sampai menangis berteriak-teriak. Lelaki setengah umur itu membiarkannya saja. Mungkin menurutnya sesuatu yang biasa-biasa saja, meskipun anak-anak lelaki itu sampai-sampai menelanjangi bocah perempuan ingusan itu. Penghuni lain pun tak ada yang berani membela. Sejak itu, bocah perempuan ingusan itu menghilang, entah tidur di mana.
Lelaki setengah umur itu mulai marah ketika suatu hari ia membawa seekor anjing betina kurus berwarna hitam ke markasnya. Mungkin anjing itu kurang sehat hingga semalaman anjing itu terkaing-kaing. Lelaki itu tampak berusaha keras mengobati anjing itu dengan menyuguhkan makanan dan air. Tapi, anak-anak jalanan yang jahil itu melempari anjing itu dengan batu. Salah satu batunya mengenai kepala lelaki itu. Lelaki itu meradang, lalu mengambil golok di dalam timbunan buntelan dalam gerobak kecilnya. Anak-anak itu dikejarnya. Konon salah seorang terluka oleh golok itu. Namun, mereka tak ada yang berani melawan dan tak berani kembali lagi.
SEBELUM subuh, pasukan tramtib itu datang lagi, lengkap dengan polisi dan beberapa truk dengan bak terbuka pengangkut gelandangan. Sebelum matahari muncul, kolong- kolong jembatan dan jalan layang harus bersih dari manusia-manusia kasta paling melata itu. Mimpi lelaki itu tersangkut bersama gerobaknya di atas bak truk. Begitu juga bocah perempuan itu. Lelaki setengah umur itu menggapai-gapaikan tangannya, minta petugas menaikkan anjingnya yang menyalak-nyalak, minta ikut bersama tuannya. Tapi, sebuah pentungan kayu telah mendarat di kepala anjing kurus itu hingga terkaing-kaing, berlari ke seberang jalan dan hilang ditelan kegelapan.
"Mampus kau, anjing kurapan!" sumpah petugas itu sambil melompat ke atas truk yang segera berangkat.
Bak truk terbuka itu nyaris penuh, termasuk tukang rokok di halte dekat situ. Lelaki setengah umur itu tampak geram. Matanya mencorong ke arah petugas yang memegang pentungan. Petugas itu pura-pura tidak melihat. Hujan telah berhenti. Iringan truk yang penuh manusia gelandangan kota yang dikawal mobil polisi bersenjata lengkap di depannya, menuju ke suatu tempat arah ke Utara, dan kemudian membelok ke kanan. Dari pengeras suara di puncak-puncak menara masjid terdengar azan subuh bersahut-sahutan. Bulan semangka tipis masih menggantung di langit, kadang-kadang tertutup awan yang bergerak ke Barat.
BEBERAPA minggu kemudian, pelintas jembatan penyeberangan yang beratap itu, kembali menemukan lelaki setengah umur itu berpraktik di tempat sebelumnya. Ia baru turun mengemasi kaleng peot dan alas kardusnya ketika matahari mulai tergelincir ke Barat. Melangkah dengan pasti, menuju tempat gerobak kecilnya ditambatkan.
Di depan pangkalan truk yang telah menyempitkan jalan, lelaki itu mendorong gerobak kecilnya dengan santai sambil mengawasi puntung-puntung rokok yang masih berapi dilempar sopir-sopir truk ke jalan. Ada yang sengaja melemparkan puntung rokoknya ketika laki- laki bergerobak itu melintas. Di atas gerobaknya, kini bertengger bocah perempuan ingusan itu sambil terus bernyanyi dengan iringan krincingannya. Orang-orang tak ada yang peduli.*
Rawamangun, 3 Oktober 2004

Percintaan Kepompong

Cerita Pendek Ahmadun Y Herfanda
Setiap melihat kepompong di daun palem di teras rumahku aku selalu ingat
kata-kata kekasihku: kita, kau dan aku, adalah kepompong, yang menunggu waktu untuk lepas dari bungkusnya dan terbang menjadi kupu-kupu, belalang, atau mungkin burung jiwa.
"Aku lebih suka kupu-kupu. Dengan sayap-sayap bercahaya kita akan terbang ke langit," ujar kekasihku, penuh imajinasi..
Tetapi, aku merasa terlalu lama jiwaku tidur di dalam kepompong itu, entah berapa abad. Namun, kekasihku yakin, makin lama kita bersemayam di dalamnya, akan makin matanglah jiwa kita, dan makin perkasa pula raga kita. "Kalau kau jadi kupu-kupu, kau akan jadi kupu-kupu yang kuat. Kalau kau jadi belalang, akan jadi belalang yang perkasa," katanya.
Tapi, bagaimana kalau kita tidak menjadi apa-apa, atau bahkan mati di dalam kepompong itu, karena tidak punya kekuatan lagi untuk melepaskan diri dari kungkungan derita. "Ah tidak. Kita sedang berproses," katanya. "Kita harus jalani proses itu untuk menjadi."
Untuk menjadi? Menjadi apa? Aku tidak tahu jawabannya, sebab aku tidak punya cita-cita. Aku ingin hidup mengalir saja bagai air, berembus bagai angin, menyebar bagai pasir, meresap bagai garam, menyusup bagai rumput-rumput jiwa.
Tetapi, seperti kata kekasihku, aku jalani juga hidupku sebagai proses proses untuk menjadi. Aku jalani hari-hari manis, juga hari-hari pahit, bersama orang-orang yang bersentuhan denganku, bersama jiwa-jiwa yang bersedia berbagi. Kuliah, pacaran, bekerja, membangun karier, bertahun-tahun, berabad-abad, sampai serasa lumutan.
Tapi, aku sungguh tidak tahan menghadapi tahapan membujang terlalu lama takut menjadi bujang lapuk. Maka, aku pun menikah begitu menemukan gadis yang aku sukai dan bersedia berbagi meskipun lebih banyak berbagi duka sebelum kuntuntaskan cintaku padanya. Sementara, kekasihku begitu tahan menjalani tahapan itu, membujang begitu lama, setidaknya sampai kami bertemu lagi di Jakarta.
"Aku ingin kukuh dalam cinta, cinta pertama," katanya. Aku terkejut sekaligus terpana. "Bukankah kita masih dalam kepompong cinta yang sama? Sayap-sayap kita sedang tumbuh untuk bisa terbang sebagai kupu-kupu, bersama," tambahnya. Imajinatif sekali. Melebihi imajinasi seorang pujangga.
"Tapi aku sudah menikah dan punya anak. Aku bukan lagi yang dulu," kataku. "Masuklah kembali engkau ke dalam kepompongku untuk bercinta seperti dulu," katanya.
"Tapi, bagaimana dengan kepompongku?"
"Buang saja. Tidak ada gunanya. Ia telah pecah oleh perkawinanmu yang tanpa cinta itu."
"Apa? Tanpa cinta? Ah... kau keliru. Aku mencintai istriku."
"Bagaimana engkau bisa berkata begitu jika cintamu tertinggal di sini, di dalam kepompongku. Tiap saat aku dapat merasakan denyutnya."
Aku ingin membantah kata-katanya, bahwa aku benar-benar mencintai istriku, meskipun pada saat yang sama juga mencintai kekasihku. Bukankah lelaki biasa membagi cinta, sebab kodrat lelaki memang poligamis? Karena itu, meskipun aku telah memberikan cinta pada istriku, masih bisa juga aku mencintainya. "Aku masih mencintaimu. Aku masih berhasrat menyatukan jiwa dalam kepompong cintamu," kataku akhirnya.
Sejujurnya, aku memang tidak dapat membohongi hati kecilku bahwa aku menikah bukan semata-mata karena cinta. Tapi, lebih karena tanggung jawab dan kewajiban. Aku memang mencintai istriku, tapi hanya dengan setengah hatiku. Sebab, seperti kata kekasihku, separuh cintaku masih tertinggal dan berdenyut di dalam kepompongnya.
Dan, begitulah. Hari-hari kulalui dalam percintaan ganda. Di rumah aku
bercinta dengan istriku, berkasih sayang dengan anak-anakku, dan membangun kehidupan sakinah dengan mereka. Pada hari-hari tertentu aku mengimami shalat mereka, dan menemani mereka membaca Alquran dalam kasih sayang Yang Maha Kuasa. Tetapi, di luar rumah aku selalu rindu untuk memasuki kepompong cinta kekasihku, memenuhi yang belum terpenuhi, mencintai yang belum tercintai.
Kadang-kadang, bosan bermain kata-kata dalam imajinasi-imajinasi indah itu ini yang selalu aku lakukan sambil menatap wajahnya yang ayu dan senyumnya yang bagai irisan salju kami menciptakan kepompong dari selimut tebal di suatu tempat yang sejuk dan sepi.
"Saatnya kita masuk ke dalam kepompong yang sebenarnya," katanya tiap kali kami merentangkan selimut tebal seperti biasa.
Dan, kami pun berada di dalam selimut yang menutup sejak ujung kaki sampai ujung rambut kami. Seperti dulu, ketika kami masih sama-sama di Yogya, aku kembali merasakan hangat tubuhnya, degup jantungnya, lembut nafasnya, dan harum rambutnya.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya.
"Kita tidur seperti bayi kupu-kupu sampai sayap-sayap kita tumbuh dengan perkasa untuk terbang ke langit bersama," kataku.
"Apakah kau masih tidak ingin menikmati keperawananku."
"Siapa tidak ingin menikmati keperawanan gadis secantik kau? Tapi, tidak. Aku tidak ingin merampas hak suamimu. Siapapun dia, kelak. Aku lebih suka menjaga kemurnian cinta kita, tanpa seks!"
"Kau memang lelaki yang luar biasa."
"Luar biasa bodohnya, maksudmu?"
"Ha ha ha…!"
Kekasihku tertawa di dalam selimut, cukup keras, hingga kepompong cinta kami serasa bergetar mau pecah. Tentu, menertawai kebodohanku. Tetapi, anehnya, sepuluh tahun lebih, dia tetap sabar mempertahankan cintanya pada lelaki bodoh seperti aku. Bukankah itu berarti dia, kekasihku, juga bodoh sepertiku? Ya, mau-maunya dia terus mencintai lelaki yang tidak mungkin lagi mengawininya, karena sudah beristri dan beranak. Apakah cinta memang misteri yang sulit dipahami, yang sulit ditolak kehadirannya dan sulit diusir pergi? Atau, kami memang orang-orang aneh yang ingin terus bercinta sebatas keindahan imajinasi?
Sebagai wanita karier yang cukup jelita bukannya tidak pernah ada lelaki lain yang menginginkan kekasihku. Banyak. Banyak sekali. Beberapa kali aku pun perah memergoki dia berjalan dengan seorang lelaki di suatu mal atau lobi bioskop. Tetapi, lagi-lagi, tiap kali kupergoki begitu, tidak lama kemudian dia langsung meneleponku bahwa lelaki itu hanya kawan biasa.
Suatu hari pernah pula aku melihat kekasihku dikejar-kejar oleh seorang manajer tempatnya bekerja. Aku dengar lelaki itu sangat tertarik padanya. Kekasihku didekati dengan sedannya yang mulus, dibukakan pintu dan dipersilakan masuk. Tetapi, dengan halus kekasihku menolaknya. Dan, ketika kutanya mengapa, kekasihku hanya menjawab, "Aku masih suka tidur sebagai bayi kupu-kupu di dalam kepompong cinta kita."
Kadang-kadang aku merasa khawatir juga, jangan-jangan kekasihku benar-benar menunggu lamaranku untuk kunikahi. Sebab, suatu hari ia pernah mengatakan, "aku sering merasa diciptakan hanya untukmu." Dan, bukannya aku tidak berani melamar dan menikahinya, atau bermaksud sengaja mempermainkannya. Sama sekali tidak! Tetapi, lebih karena aku sudah memiliki anak dan istri, dan sejujurnya belum punya nyali untuk berpoligami. Kadang-kadang, aku ingin nekat saja menikahinya sebagai istri kedua. Tetapi, tiap aku menatap wajah istri dan anak-anakku yang polos-polos yang tidak berdosa, yang saat tidur seperti menyerahkan seluruh nasibnya padaku, aku menjadi tidak sampai hati melakukannya. Aku tidak tega membayangkan keluargaku, yang aku bina sepuluh tahun lebih, tiba-tiba tercerai berai karena pernikahan keduaku.
Tetapi, bagaimana kalau kekasihku memang benar-benar menungguku, dan terus menungguku bertahun-tahun lagi, berpuluh-puluh tahun lagi, berabad-abad lagi, sampai hilang seluruh kecantikannya secara sia-sia? Bukankah itu artinya aku menyia-nyiakannya? Bukankah itu artinya aku juga berdosa?
Berhari-hari lagi, berbulan-bulan lagi, bertahun-tahun lagi, seperti keyakinan kekasihku, kami terus berproses untuk menjadi. Entah menjadi apa. Berkali-kali kami mencoba tidur bersama lagi, bagai dua bayi kupu-kupu, di dalam satu kepompong cinta. Tetapi, belum juga tumbuh sayap-sayap perkasa di tubuh kami untuk terbang ke langit bersama-sama.
Aku makin suntuk dengan anak-anakku, memikirkan sekolah dan masa depan mereka. Aku juga makin sibuk dengan lemburan dan pekerjaan-pekerjaan sambilanku untuk menutup defisit biaya hidup di Jakarta yang semakin mahal saja. Sementara, kekasihku juga makin suntuk dengan kariernya yang terus menanjak, dan kini menduduki posisi sebagai seorang manajer. Kudengar bahkan dia sedang diproyeksikan untuk menduduki salah satu jabatan di jajaran direksi. "Syukurlah," pikirku.
Makin hari kamipun makin jarang bertemu, karena kesibukan masing-masing. Bukannnya kami sudah tidak rindu lagi untuk tidur bersama sebagai bayi kupu-kupu di dalam kepompong cinta. Tapi, lebih karena waktu yang makin tidak memungkinkan untuk itu. Pada hari-hari liburku, Sabtu dan Minggu, aku lebih memilih berada di rumah atau pergi bersama keluarga, sedangkan kekasihku entah di mana. Beberapa kali, melalui telepon, kami masih sempat mengatur kencan seperti dulu, di hari kerja, tapi dialah yang membatalkannya karena harus menghadiri rapat penting yang mendadak di kantornya.
Dan, tiga tahun kemudian kekasihku benar-benar dipercaya sebagai salah seorang direktur di perusahaannya. Aku tahu dari undangan syukuran yang dikirimkannya padaku. Aku betul-betul menyempatkan diri untuk menghadirinya sekaligus ingin tahu sudah adakah lelaki yang beruntung dapat mendampinginya. Usai acara syukuran kami sengaja pulang belakangan untuk berbicara berdua. Ternyata dia masih sendiri seperti dulu, kesendirian yang membuat hatiku mendadak merasa berdosa dan pedih seketika.
"Apakah kau masih menyimpan kepompong cinta kita?" tanyaku.
"Ya," katanya. "Tapi, bayi kupu-kupu itu telah mati, karena terlalu lama menahan derita, menahan cinta yang tak sampai-sampai."
"Bukankah bayi itu kini telah tumbuh perkasa, menjadi wanita karier yang sukses?"
"Tidak. Aku bukan bayi kupu-kupu yang dulu. Kini aku adalah belalang dengan sayap-sayap perkasa yang mulai lapuk karena usia."
Aku kembali merasa tertohok oleh kata-katanya, tapi aku tiba-tiba juga merasa telah tua dan tidak patut lagi berimajinasi tentang cinta dengannya, bagaimanapun manis dan indahnya. Aku hanya merasa menyesal, kenapa dulu tidak cepat-cepat melamar perempuan yang begitu kukuh dengan cintanya. Selanjutnya aku hanya merasa bodoh dan tidak bisa berkata-kata lagi di depan keperkasaannya, sampai kekasihku beranjak dari kursinya dan mengucapkan "selamat tinggal" tanpa secercah senyumpun di bibirnya!
Jakarta , April 2004.