P U T U S

Di sebuah cafe tenda, suatu sore. “menikah itu nggak segampang membalik telapak tangan, Nin,”ucap Dodi sambil menyedot juice semangka pesanannya yang baru saja diantar. Lutut Ninin terasa lemas mendengar jawaban kekasihnya itu.

Ternyata apa yang dibayangkan tentang Dodi tidak seperti kenyataan. Kebaikan dan perhatiannya selama ini hanya sebatas ucapan saja.Buktinya, diajak serius tidak mau.

Ninin diam sambil membolak-balik tangannya yang basah oleh titik-titik air yang membekas di permukaan gelas.Berbagai pikiran berkecamuk di hatinya, jangan-jangan laki-laki yang duduk di hadapannya ini seorang banci (tentu bukan dalam arti yang sebenarnya). Ditatapnya nasi goreng dan minuman yang baru saja diletakkan waitress. Pengunjung café datang silih berganti namun kedua pasangan ini tidak juga beranjak.

“Puih…!”Ninin menyemburkan serat semangka. Juice di café ini memang tidak terlalu halus.“Ada apa sayang? ” tanya Dodi.(Hah sayang?) Ninin untuk pertama kalinya merasa muak mendengar kata sayang yang ditujukan padanya.Sayang apa, cuma di mulut saja. Katanya cuma aku wanita di dunia ini yang paling ia cintai selain ibunya, tapi sekarang, terbukti: its all funk’n hell bullsitch.Kata sayangnya cuma omong kosong. Cuma kata-kata manis yang diucapkan demi sebuah kegombalan.

Ninin melarikan diri dari tatapan mata Dodi. Dihelanya nafas panjang.”Ayo pulang, udah malam,” ujarnya pelan.Ia berdiri lantas melangkah tanpa memperdulikan ekspresi wajah Dodi yang berubah.Di atas sepeda motor Ninin bungkam seribu bahasa. Sekilas terlintas dalam benaknya untuk mengakhiri saja kasih mereka. Nanti, nanti sesampai di rumah.Untuk apa meneruskan hubungan dengan laki-laki yang tidak punya keseriusan. Enaknya mau tapi takut pada komitmen, menghindari tanggungjawab, dasar pengecutNinin terus menggerutu dalam hati.

Kalau memang ada keseriusan, apa sih susahnya menikah? Masalahnya apa? Toh, hubungan itu tidak mendapat masalah berarti. Orang-orang tua sudah setuju. Lantas apa? Biaya? Keterlaluan.Hakekat menikah itu pada dasarnya adalah meresmikan hubungan untuk menghindarkan fitnah. Itu saja. Lagi pula sejak dulu Ninin sama sekali tidak pernah membayangkan pesta pesta besar-besaran.

Sepeda motor keluaran tahun 80-an itu berhenti persis di depan sebuah rumah yang di temboknya bertuliskan angka 155R. Ninin turun. Tidak seperti biasanya, kali ini tak didaratkannya kecupan di pipi Dodi. Dia langsung melangkah, bahkan tanpa mengucapkan barang sepatah kata. Dan ini tentu saja membuat Dodi heran.“Nin!:” panggilnya. Ninin menoleh, ekspresi wajahnya datar.“Kamu kenapa sih?”Untuk kesekian kalinya ia menghela nafas panjang.

Sesungguhnya saat itu sedang ada perang di hatinya, antara kemarahan dan rasa sayang. Dodi yang mencla-mencle membuat kesabarannya habis. Sebagai wanita seharusnya dia berada dalam posisi menunggu. Dimanapun begitu, dalam sejarah cinta maupun sejarah dunia, bahwa seorang laki-lakilah yang seharusnya datang dan mengucapkan kata minta” would you marrie me” (Bukan sebaliknya). Dodi tidak, dia bukan saja tak pernah mengucapkan kata itu, tapi bahkan selalu berusaha menghindar bila dirinya sudah mulai menyinggung tentang pernikahan.

Sepertinya dia terkesan enggan untuk melanjutkan ke tahap yang lebih serius. Dan kini, ketika Dodi secara terus terang menyatakan sikapnya, Ninin benar-benar merasa harga dirinya telah diinjak-injak.Namun begitulah, kemarahan rupanya belum cukup hebat untuk membuatnya lancar berbicara. Ninin harus menguatkan dirinya kembali. Aku harus mengatakannya . Harus! Harus! Harus.“‘Nin! Kamu belum jawab pertanyaanku.

Kamu marah sama aku?”Ninin berdiri menatap Dodi dengan pandangan mata yang menusuk. Sekelebat perasaan (cinta?) yang melintas ia tepiskan.“Dod!” Ninin merasakan suaranya jadi sumbang dan bergetar.“Ya, sayang”“Sepertinya hubungan kita cukup sampai di sini saja”. Dodi nampak terperanjat. Matanya terpelotot, sebatang rokok yang terselip di bibirnya terjatuh.”Apa?”“Kita putus”“Maksud kamu..?”“Ya maksud aku, kita putus. Putus, kamu dan aku. Kita tidak usah pacaran lagi”.

Matahari melorot jauh ke barat. Ninin melihat wajah Dodi memucat. “Tapi kenapa?”.Suara Dodi tidak setegas tadi. Tampak ujung-ujung bibirnya bergerak turun naik. Ninin mendengus. “Huh lucu sekali.

Seharusnya kamu tidak perlu menanyakan itu. Kamu sudah tahu jawabannya”“Jadi sekarang bagaimana?”“Bagaimana apalagi. Ya putus. Mulai sekarang kita tidak punya hubungan apa-apalagi selain sebagai sahabat. Itu pun kalau kamu mau”.

Hari semakin jatuh ke dalam senja. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Dalam ketemaraman itu Dodi menatap nanar punggung Ninin sampai menghilang di balik pintu. Dia merasakan berdirinya jadi limbung. Nun jauh entah dari mana, samar-samar telinganya mendengar suara nyanyian burung malam.
***

Ninin mengetik kata ‘banci’ pada telepon genggamnya. Kata itu ia ketik untuk menggantikan kata “sayang’ yang selama ini ia wakilkan atas nomor telepon genggam Dodi. Bayangan kejadian sore tadi masih bagai di rewind bermain di matanya. Dodi yang untuk sekian kalinya berusaha menghindar.

Jauh di dalam hatinya, Ninin sesungguhnya agak menyesal. Bagaimanapun hubungannya dengan Dodi sudah berjalan cukup lama. Suka dan duka mereka lewati bersama. Memang sayang sekali jika kemudian kisah itu harus berakhir dengan kepedhan. Tapi kemarahan lebih kuat mengendalikan dirinya.

Persetan dengan dia! Peduli amat dengan sontoloyo itu! Dia pikir di dunia ini laki-laki cuma dirinya!Tiba-tiba telepon genggam itu berdering. Terbaca tulisan yang baru ia ketik tadi. Ninin mendengus. Ringtone memperdengarkan potongan nada dari lagu ‘Cinta Kita’ vokalnya Reza Artamevia. Mendengar nada itu, Ninin membara lagi. Kemarahan rupanya telah benar-benar menguasainya. Cinta, taik kucing dengan cinta.

Maka kembali ia mengutak-atik telepon genggamnya. Ringtone diganti dengan nada lain, “Putus Saja” masih dari penyanyi yang sama. Putus? Ninin tertawa terbahak-bahak. Ha..ha..ha kebetulan sekali.Lani, teman sekamarnya yang sejak tadi sibuk membolak-balik sebuah majalah remaja merasa heran.(Ada apa dengan Ninin, kok seperti orang setengah sinting begitu?)“Woi berisik!” teraknya sambil turun perlahan dari ranjang mendekati Ninin.

Matanya memandang ke arah yang sama dengan Ninin. Ya ampun… Lani menggeleng-gelengkan kepalanya. Kawannya ini ulahnya memang ada-ada saja.Dulu ia juga pernah melakukan hal yang sama waktu seorang cowok mencobanya menggoda lewat telepon. Dia menyimpan nomor laki-laki itu dengan tulisan ‘Gila’.Jam di dinding berdentang sebelas kali. Ninin pun tertidur.

***
Hari pertama sebagai wanita single. Jam tujuh lebih lima belas menit. Ninin yang duduk di beranda depan sambil mengunyah sepotong roti lapis coklat kacang pelan-pelan merasakan desir-desir aneh di dadanya. Pagi datang tanpa bunyi klakson, tanpa asap kelabu dari motor butut Dodi yang biasanya pada jam-jam begini sudah menunggu di depan pintu pagar.

Yang membuat Ninin merasa aneh atau barangkali lebih tepat, kesal adalah sebuah SMS yang masuk ke telepon genggamnya seusai Subuh tadi. Isinya sebenarnya biasa saja. Apa kabar sahabat, udah ma’em belon? Memang sama sekali tidak istimewa. Hanya dua kalimat tanya. Tapi baginya, SMS itu jadi luar biasa karena yang mengirimnya tak lain dan tak bukan adalah Dodi, pacarnya (eh, mantan pacarnya). Kemarin dia masih mengirimkan SMS dengan kata sayang di belakang kalimat. Tapi kini kata sayang itu diganti dengan kata sahabat.

Begitulah yang terjadi pada hari-hari berikutnya. Sampai datang hari sabtu malam minggu, malam yang dianggap istimewa terutama oleh kaum muda. SMS masuk lagi. Ninin yang sedang menyaksikan pertandingan Liga Itali Seri A dengan malas meraih handphone nya. Sent:.21.32 Sender: Banci Message: Halo sahabat, Selamat malam minggu. Lagi ngapain ? Ninin menarik nafas dalam-dalam, lantas menghembuskannya dengan tidak terlalu lega. Lama-lama kesel juga menghadapi Dodi.

Kata ‘sahabat’ itu seolah-olah mengejek dirinya. Dengan geram bercampur perasaan yang sulit ia jelaskan, Ninin balik mengirim SMS pada Dodi. “Kamu memang ga sayang aku kan? Makanya waktu aku bilang kita cuma sahabat kamu setuju.Tak lama telepon genggamnya berdering lagi. Sent: 21.44Sender: Banci Message: Lho.emang aku salah tulis ya? Kan kamu yang minta kita jadi sahabat?

Perasaan Ninin semakin tak karuan. Tangannya gemetar saat mengetik kalimat yang akan ia kirimkan balik pada Dodi.Tentu saja aku sayang sama kamu sebagai sahabat. Kalau kamu gimana? Sayang nggak sama sahabatmu ini?Tapi entah mengapa SMS itu tidak jadi ia kirimkan. Dia tidak mau kalimat itu nantinya justru akan membuat Dodi salah paham. Dikiranya aku masih berharap, masih cinta, masih sayang. Huh, tak usah ya.(Ninin saat itu sesungguhnya sedang berusaha menenangkan perasaan yang sedang bergejolak hebat di dadanya. Namun ia akhirnya menyerah. Ia tak kuat.

Nalurinya sebagai seorang yang pernah terkasih dan mengasihi muncul. Ia menangis, sambil membenamkan wajahnya pada bantal. Teganya Dodi menganggap dirinya cuma sebagai sahabat.


***

Besoknya sewaktu bangun tidur diliriknya layar telepon genggamnya. Tidak ada tanda-tanda SMS masuk. Ninin memejamkan matanya. Pelupuknya terasa bergetar dan perlahan menghangat.Ninin tak kuasa lagi mengingkari perasaannya. Diraihnya telepon genggam itu, ditukarnya kembali tulisan ‘banci’ dengan ‘sayang’. “Baiklah aku masih mencintainya. Nanti kalau berjumpa aku akan minta maaf padanya karena sudah menurutkan hati panas,” gumamnya sendirian .

Namun sampai tiga hari Dodi tetap tidak menghubunginya. Ninin jadi bertanya-tanya apakah mungkin Dodi menganggap serius ucapannya?Nini jadi serba salah, jangankan makan, tidur malam pun jadi tidak nyenyak. Sebentar-sebentar ia terbangun, namun SMS yang diharapkannya tetap tidak masuk juga.Kemana Dodi pergi? Untuk menghubunginya duluan, Ninin merasa kurang pantas atau barangkali lebih tepat, gengsi. Ninin berangkat sendirian.

Lani yang masih kuliah memasuki semester akhir itu sedang malas. Katanya tidak ada kuliah penting. Namun Ninin tahu, kemalasan itu lebih disebabkan oleh rencana pergi nonton dengan pacarnya siang nanti. Kemarin didengarnya Lani janjian saat bicara dengan pacarnya di handphone.


***

Dari ujung gang sebuah mobil melaju cukup kencang dari arah samping kiri dan nyaris menyerempetnya. Ninin berdiri dengan kaki yang gemetaran dan lututnya seketika terasa lemas. . Mobil itu berhenti. Seorang laki-laki turun dan langsung mengembangkan senyum kecut. Namun kemudian, begitu melihat wajah Ninin air mukanya langsung berubah.

“Eh, kamu Ninin,kan?”Ninin menatap laki-laki bertubuh tegap yang berdiri sambil terus cengengesan di hadapannya.“Siapa ya”“Masih ingat aku nggak? Ninin mengerutkan dahinya. Memang sekilas dia seperti mengenalnya. Wajahnya tdak terlalu asing.

“Kamu…,kamu, kita pernah satu sekolah,ya? Laki-laki itu semakin cerah wajahnya.“Ya, kita satu kampus bahkan pernah satu ruang kelas lagi”.“Dulu aku duduk di belakang kamu? Aku sering nanya tulisan di papan tulis sama kamu karena mataku agak kabur”“eghh. Soni…Soni ya? Soni! (Laki-laki itu mengangguk dengan bersemangat) Aduh kamu sekarang lain sekali. Lebih kurusan”“Kamu mau kemana”“Ke kantor”“Aku antar, ya”.

Di mobil suasana akrab dengan cepat mengalir kembali. Membicarakan kenangan masa lalu memang selalu menyenangkan bahkan untuk kenangan yang menyedihkan sekalipun.Mereka tertawa-tawa saat mengingat tingkah teman-teman. Ada Rizal yang selalu serius. Ada Saut yang sok play boy, gonta-ganti pacar tapi tidak satu pun yang berumur panjang.

Ada Pak Asu (Aswadin) nama sebenarnya. Dosen kriminal yang gagap itu. Ninin dan Soni tertawa terbahak-bahak mengingat saat diadakan pembahasan tentang penganiayaan. Pak Asu hanya terbengong di depan kelas dengan ekspresi wajah yang bukan main bodohnya tatkala seorang teman mereka bernama Gandhi menjelaskan opini dengan menyebutkan perilaku itu sebagai penganiayaan dengan benda tumpul.Suasana semakin tak karuan karena Soni kembali mengungkit soal cinta terpendam seorang dosen yang kabarnya sampai sekarang belum menikah.“Eh, Nin. Kita mau ngadain reuni. Kamu datang, ya.

Acaranya dijamin begini (Soni mengacungkan jempolnya). Gila-gilaan. Kita booking cottage. Acaranya satu hari penuh dari pagi sampai pagi lagi” Ninin mengangguk entah kenapa pikirannya terasa tenang. Kalau dulu ia harus minta ijin dulu sama pacarnya, tapi sekarang tidak. Ninin bebas menentukan pilihan.

Sejenak, kesedihan kembali merambat di dadanya. Ya ya, dia bahagia sekaligus bersedih. Ah mengapa ini harus terjadi? Tapi biarlah, mana tahu dengan reuni ia bisa menghapuskan semua kenangan bersama Dodi.


***

Mobil berhenti tepat di sebuah komplek gedung perkantoran. “Thanks, Son. Kapan-kapan singgah, itu kantorku nomor 67. Sampai jumpa di reuni nanti”Soni mengangguk sambil menggeleng-gelengkan kepala.“Nin…!”Panggil Soni sebelum menutup kaca mobilnya.“Apa?”“Di acara nanti kamu pasangan sama aku ya”.Ninin mencibir.
***

(Sudah dimuat di Majalah DOR Medan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar