SURTINI

Oleh: Sumarni Dahlan

Sebuah angkot jurusan Pinang Baris-Amplas via Tanjung Sari berhenti persis di sebuah warung makan yang sejak tiga bulan terakhir dipenuhi pembeli.

Turun seorang gadis berseragam SMU. Setelah membayar ongkos (tanpa melihat kiri dan kanan) ia langsung masuk ke warung.

Seorang wanita paruh baya yang sejak tadi memperhatikan kedatangan gadis manis berambut lurus itu terlihat menyunggingkan sebentuk senyuman.

“Assalamualaikum, bu…”sapa gadis itu sembari menyibakkan poninya yang jatuh menjuntai.

Diraihnya tangan wanita tadi, lantas diciumnya dengan takzim.

“Waalaikum salam”

Gadis berparas cukup manis itu menatap sekeliling. Keningya tampak agak berkerut.

“Bagaimana warung kita hari ini, bu. Ramai?”

“Lumayan. Dari pagi sampai siang tadi ibu bahkan tidak sempat bernafas. Orang datang tak berhenti.

Malah tadi ada yang minta berlangganan sebulan penuh.

Ini berarti kita sudah punya 20 orang langganan tetap.”

“Syukurlah kalau begitu,” ujar gadis berseragam itu (sebelumnya menarik nafas panjang tanda lega).

“Soalnya Surti lihat, kok sepi sekali”


Warung Bu Suryo, perempuan paruh baya itu memang sudah tampak sepi. Hanya ada dua meja terisi.

Tapi keadaan ini bisa dimaklumi mengingat saat itu jam sudah menunjukkan pukul 15.15 wib. Sudah lewat jam makan siang. Warung-warung, khususnya warung nasi biasanya ramai pada saat makan siang.


***

Genap satu tahun setelah suaminya meninggal dunia. Bu Suryo terpaksa meninggalkan desa kecil di pinggiran kota Kuala Simpang, Aceh Tamiang. Sungguh miris, bersama ratusan keluarga lainnya, mereka harus lari dari ‘tanah’ kelahiran mereka sendiri.

Puluhan tahun sudah mereka mendiami lokasi transmigrasi itu. Datang dari berbagai daerah dengan berbagai macam latar belakang profesi. Mereka mengolah tanah yang tandus menjadi daerah pertanian yang subur dan menghasilkan.

Mereka juga beternak. mulai dari ayam, lembu hingga kerbau.

Hasilnya dijual denga harga cukup tinggi di ibukota kecamatan.

Tapi apa mau dikata, konflik berkepanjangan yang kian lama kian mengancam keselamatan (terutama kaum pendatang) pada akhirnya membuat mereka terpaksa memutuskan untuk hengkang.

Siapa yang mampu hidup ditengah teror. Bahkan hampir setiap pagi ditemukan mayat-mayat tergeletak tak bernyawa.

Melulu dengan dada atau kepala berlubang akibat ditembus peluru.

Nyawa manusia sepertinya tidak lebih berharga dibanding nyawa seekor kambing.

Namun begitu, masih ada saja yang bersikeras untuk tetap bertahan.Surtini adalah satu dari sekian orang yang tidak ingin menyingkir dari tanah itu.

Dia bahkan pernah mengatakan, jika kiranya sang ibu pergi bersama pengungsi lain, maka dia akan tetap bertahan.

“Bukankah ini tanah dari buyut-buyut kita dulu, bu,? tanyanya dengan polos.

“Sudahlah, Surti. Kamu ini masih terlalu muda untuk membicarakan masalah politik. Bagaimana pun kita harus meninggalkan daerah ini. Kalau tidak ingin bernasib sama seperti ayahmu”.

“Tapi , Bu…”

“Tidak ada tapi-tapian,”potong Bu Suryo cepat.


Ia benar-benar tidak ingin nasib buruk menimpa keluarganya. Setelah kematian suaminya yang diculik tiga orang tak dikenal di tengah malam buta, ia selalu dilanda rasa takut.

Beberapa harri kemudian Pak Suryo ditemukan di sebuah kawasan perkebunan tidak jauh dari batas desa.

Tubuhnya sudah kaku dengan lebam di sana sini. Dua lubang menganga di bagian belakang kepala.


Bu Suryo sampai sekarang tidak mengerti mengapa suaminya dibunuh. Suaminya hanya seorang Kepala Desa.

Masih segar dalam ingatannya, betapa malam berhujan itu pintu rumah mereka digedor orang.

Gedorannya cukup keras. Ada tiga orang pria di sana. Tinggi besar, tegap, dengan sapu tangan menutup sebagian wajah mereka.

Setelah bercakap-cakap sejenak ketiga laki-laki itu kemudian membawa pergi suaminya.

Pak Suryo tidak sempat mengucapkan sepatah kata pun padanya yang berdiri di depan pintu.

Hanya matanya tampak berkaca dengan binar memancarkan kecemasan.

Malam kemudian menelan mobil jeep itu dalam kekelaman.


***

Tapi memulai kehidupan baru (terlebih di kota Medan) bukanlah hal yang mudah. Medan adalah kota yang terkenal keras.

Persaingan di sini sangat ketat, hampir mirip dengan Jakarta.

Hanya yang kuat atau berkemampuanlah yang bissa tetap bertahan. Yang berada di luar kriteria itu harap minggir saja sebelum benar-benar tergilas.


Kesulitan Bu Suryo sendiri semakin berlipat karena dia harus berperan ganda, menjadi ibu sekaligus ayah bagi ketiga putra-putrinya.

Pengungsi asal Aceh di Medan agak buruk namanya.

Masyarakat terkesan agak sinis pada mereka.

Jangankan diterima dengan tangan terbuka. Para pengungsi sangat sulit untuk mendapatkan tempat yang layak (tentu tidak berlaku bagi yang berkantong tebal). Mereka bisa membeli rumah-rumah mewah di beberapa perumahan elit.

Hal ini juga yang terjadi pada bu Suryo dan ketiga anaknya.

Selama berminggu-minggu mereka hanya luntang lantung ke sana ke mari. Sebentar bergabung dengan para pengungsi lain di lokasi penampungan. Lantas menggelandang lagi. Sementara uang simpanan terus berkurang.

Kaum pengungsi adalah kaum yang paling menderita di dunia.

Sudah tergerus oleh alam (angin, hujan dan sebagainya), mereka masih juga harus berhadapan dengan berbagai macam pungli, baik yang dilakukan oleh preman maupun petugas nakal.

Untunglah, berkat bantuan seorang kenalan yang sudah duluan eksodus, mereka akhirnya berhasil mendapatan rumah kontrakan yang harganya cukup miring.

Rumah itu lumayan besar. Kamarnya tiga, letaknya pun strategis di pinggir jalan utama menuju pingiran kota.

Bu Suryo mengangankan kalau di rumah itu kelak dia akan membuka usaha.

Singkat cerita, atas usul kenalan yang menolongnya tadi, Bu Suryo membuka usaha warung nasi khas Aceh. Menu andalannya apalagi kalau bukan gulai kepala ikan kakap.

Selain itu di sana juga bisa di dapat berbagai macam jajanan semacam mie dan kue-kue. Atas izin Allah swt dan berkat keuletannya bersama ketiga putra-putrinya, warung itu lama kelamaan ramai dikunjungi pembeli.


***

Satu masalah yang mengganjal adalah soal keberadaan mereka.

Warga sekitar nyata terlihat kurang bersahabat.

Hal yang sama dirasakan pula oleh ketiga anaknya.

Mereka selalu mendapat cemoohan di sekolah.


“Bu..kenapa orang-orang di sini benci sama kita?”

Ia sendiri heran, di tengah kota besar seperti Medan masyarakatnya masih ada yang membedakan antara satu suku dengan lainnya.

Apakah karena mereka berasal dari Aceh?

Taruhlah keadaan di sana memang sedang bergejolak. Tapi kenapa mesti rakyat kecil yang sudah menderita malah jadi korban?

Kalau Medan tidak bisa menerima, kemana lagi kami harus menyingkir?

Kemarin Yanto, anak bungsunya pulang dengan seragam robek-robek.

Ketika ditanya anak itu bilang ia berkelahi.

“Masak, kata mereka aku GAM? Aku tidak terima . Walau banyak kulawan mereka,” terang Yanto disela senguknya.


Bu Suryo sudah berkali-kali menjelaskan pada ketiga putra-putrinya bahwa hal kecil jangan terlalu diambil pusing.

Tapi memberitahu mereka sia-sia saja. Ketiga anaknya sama sekali tidak pernah mau mengerti. Bahkan ia pernah memberitahu kepada ketiga anaknya bahwa mereka berdarah Jawa, tapi apa jawaban yang diterimanya: “Kalau tinggal di Aceh, ya orang Aceh,” jawab mereka serempak.

Bu Suryo sebenarnya bangga akan keteguhan pikiran anak-anaknya. Apalagi Surti. Ia tetap menganggap dusun kecil tempat ia dilahirkan adalah kampung halamannya.

Menurut gadis yang sekarang sudah duduk di bangku kelas tiga itu, bagaimana pun hidup di kampung lebih enak. Masyarakatnya ramah dan suasana kekeluargaan masih kental.


***

Sore itu Surti datang ke sekolah untuk mengikuti bimbingan. Setelah hampir satu jam guru yang ditunggu belum juga datang.

Tiba-tiba seorang siswa masuk membawa kertas pengumuman bawa guru yang akan memberikan pelajaran tambahan berhalangan hadir.

Kontan saja semua siswa bersorak gembira.

Surti langsung menyambar tasnya yang tergeletak di meja. Namun dalam waktu yang bersasmaan Esti pun melakukan hal yang sama.

Tabrakan tidak dapat dihindari.

Buku yang sudah berada di tangan Esti terpelanting ke lantai.


“Maap…’”

Surti dengan setengah membungkuk mengutip buku yang berserakan di lantai.

Tapi malah Esti menendangnya kembali.

“Kamu nggak punya mata ya…?”

“Aku nggak sengaja, Es, Sorry ya,” ucap Surti dengan wajah memelas.


“Kamu jangan cari gara-gara, ya. Sudah di kampungnya di usir di sni pun bikin masalah,” Esti lebih dulu memotong.

Mendengar kata-kata itu Surti langsung menghentikan niatnya untuk mengutip buku-buku itu.

Ia bangkit dan menatap tajam ke arah Esti.

“Apa kamu bilang?

Ia mulai tidak bisa menahan emosinya.

Kata-kata Esti seolah mengejeknya.

“Ya memang kampung ku sedang perang dan kami mengungsi ke sini,”.


Esti malah mencibir sambi tersenyum sinis. Darah Surti langsung naik. Ini tidak bisa dibiarkan lagi. Esti sudah keterlaluan. Entah kekuatan apa yang merasuki jiwa Surti tiba-tiba diterkamnya tubuh Esti yang memang sejak lama sudah menampakkan sikap permusuhan padanya.

Leher putih mulus itu dikepitnya kuat-kuat dengan kedua belah tangan.

Terang saja yang dicekik menjadi susah bernafas.

Dicobanya menolak tubuh Surti agar cengkaraman itu terlepas tapi usahanya gagal.


Siswa lain mulai berteriak-teriak. Ada yang kesenangan namun ada pula yang berusaha melerai.

Surti semakin beringas, dengan seluruh tenaga didorongnya tubuh itu hingga terjatuh.

Masih belum puas, diangkatnya sebelah kaki. Buk! Darah segar mengalir dari hidung Esti.

Menyaksikan adegan yang kian mencekam itu salah seorang siswi menarik Surti.

“Sudah Sur…!”

Digoyang-goyangkannya wajah Surti yang sudah benar-benar kerasukan setan.

Namun Surti tidak perduli. Dengan cepat ia melompat ke atas meja sambil berteriak-teriak.

“ Kalian memang manusia berhati iblis. Jangan mentang-mentang aku pengungsi kalian hina seenaknya. Keluargaku pindah ke sini karena terpaksa. Puluhan tahun lalu kakek nenekku dipaksa meninggalkan Pulau Jawa. Mereka diwajibkan merubah lahan di Aceh agar menjadi tanah pertanian yang subur.

Setelah berhasil, apa yang kami terima?. Rumahku dibakar, ayahku mati tertembak.

Sampai di sini kalian perlakukan kami seperti ini…”


Semua siswa tertunduk mendengar teriakan Surti.

Suasana menjadi hening. Surti turun dari atas meja dan melangkah ke luar.

Beberapa guru yang datang setelah mendengar keributan ikut tertunduk.

Surti sudah nekad. Hukuman apapun yang akan dijatuhkan kepala sekolah akan ia terima.

Dikeluarkan dari sekolah…? Ia tidak takut.

Hari ini hatinya lega karena sudah melepaskan semua uneg-uneg yang selama ini mengganjal di hatinya.

Ia sudah cukup sabar menghadapi sikap teman-teman bahkan guru-gurunya di sekolah.


***

Sampai di rumah ia langsung merebahkan diri di atas kasur.

Sesaat pikirannya menerawang jauh ke sebuah desa yang tenang dan sejuk.

Terbayang wajah teman-temannya saat bersekolah di sana dulu.

Mereka semua baik-baik dan ramah. Kenapa suasana menyenangkan itu begitu cepat berlalu?

Sahabat karibnya Mutia yang sampai sekarang masih sering berkirim surat menceritakan keadaan di tanah kelahiran mereka.

Ya, hanya gadis itulah yang masih tinggal di sana.

Teman-temannya yang lain sudah tidak tentu lagi nasib dan keberadaannnya.


Surti terbayang kembali suasana pilu di hari perpisahan tempo hari.

Mutia menangis sambil memeluk tubuh Surti yang dengan langkah berat terpaksa mengikuti kemauan ibunya untuk pindah.


Tiba-tiba ia teringat akan surat sahabatnya yang seminggu lalu baru ia terima tapi belum sempat dibalas.

Surti meraih pena dan kertas.

Dirangkainya baris kata sambil sesekali menyeka air mata yang membasahi kertas.

Surat yang sedikit lembab itu dilipatnya perlahan.


Dalam hati ia bersyukur karena masih memiliki seorang sahabat yang bisa diajak berbagi rasa. Walau hari-harinya hanya diisi desingan peluru. Di tengah suasana yang sedemikian mncekam ia masih dapat berfikir jernih.

Surti kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia terlelap bersama mimpi yang mengobati rasa rindunya pada kampung halaman.

( Sudah dimuat di Majalah DOR Edisi 20 Agustus 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar